22. Berharap Bukan Mimpi

2 0 0
                                    

Keadaan Pika pun turut memburuk, ia berakhir harus di rawat pula di rumah sakit ini. Seharian menangis membuat imunnya pun menurun, dari kemarin memang badannya sudah tidak enak.

Juan terbaring di sofa ruangan rawat inap itu. Ia yang menunggu sang kakak dari semalam. Baju yang ia kenakan saja tidak sempat ia ganti. Masih dengan kemeja putih dan dasi yang sudah berantakan.

"Wan,"

Juan terduduk dan terburu menghampiri Pika yang sudah tersadar dari tidurnya.

"Iya. Apa yang sakit, Ka?" Lelaki itu sudah duduk di atas kursi sebelah bangsal Pika. Pika menggeleng lemah, "Papa mana?"

"Papa di rumah."

"Dila mana, Wan?"

"Dila sekolah nanti siang kesini, lo mau apa biar gue bantu." Pika menggeleng lagi. Rasanya dia terlalu susah buat mengeluarkan suara.

"Andra baik-baik aja, Ka." Perkataan Juan itu membuat hati Pika tidak karuan. Dari yang semula kepalanya terasa pening, kini tidak lagi. Seolah dia benar-benar sembuh. Tubuhnya yang sedari tadi lemah rasanya kembali berdaya.

"Mau ketemu Andra, Wan."

Juan mengangguk, "Boleh tapi gue panggil dokter dulu buat cek keadaan lo."

Kalau di tanya bagaimana perasaan Pika, jelas dia akan sangat bahagia. Lelaki yang ia tunggu kini telah kembali, namun dengan keadaan sekarang. Di ambang antara hidup dan mati. Keadaan Jaendra kemarin sangat buruk, dan kini Pika sendiri belum tau bagaimana keadaan suami.

Dokter mengizinkan Pika pulang, karna tidak ada hal yang parah terjadi dengannya.

Mereka berdua berjalan menuju ruang ICU Jaendra. Tungkai Pika melangkah begitu panjang, ia sudah sangat tidak sabar untuk melihat keadaan orang yang sangat ia rindukan.

Pintu ruangan itu sudah Pika buka, tampak disana Defri duduk di sebelah bangsal Jaendra.

"Bang, engga kerja?" Pika berjalan menghampiri Defri.

"Engga, cuti dua hari." Jawabnya, dan berdiri dari kursi itu. Ia mempersilahkan sang adik untuk duduk disana.

"Kata dokter keadaan Andra ada perubahan walaupunㅡ," Kalimat terjeda, "Sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya." Sambung Defri yang kini matanya sudah berkaca-kaca.

"Mas Andra udah siuman?" Lirih Pika, perempuan itu masih memandang nanar ke arah bangsal.

"Belum, kita tunggu ya." Ia mengelus lembut pucuk kepala sang adik, "Kami mau pulang ke rumah dulu, kamu ajak ngobrol aja Andra." katanya, dan mengelus bahu sang adik. Juan pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua meninggalkan Pika dan Jaendra di ruangan rawat inap.

Pika hanya mampu menatap nayanika yang kini masih terpejam, ia menarik nafas panjangnya. Membuang sesak yang kini masih menyelimuti dadanya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Lantas ia elus lembut punggung lengan yang tampak kurus itu.

"Terimakasih sudah bertahan, Mas." Senyum yang tampak cerah itu terpatri sempurna di wajahnya.

"Ayo bangun, aku udah lama ga liat bola mata kamu yang cantik itu. Tatapan kamu yang selalu penuh sayang, binar mata kamu yang selalu bisa buat aku tenang."Ia menarik nafas panjang, dan menghembusnya pelan. Pelupuk matanya sudah di genangin oleh cairan bening itu.
Pika tatap lama sosok di pembaringan itu.

"Makasih udah bertahan, Mas. Kamu sudah berusaha untuk tetap disini."

》》》

Osaka, Jepang.

Nata memandang nanar keluar jendela kamarnya. Perjalanan jauh itu membuatnya  sangat lelah. Terlebih lagi perjalanan itu tidak menyenangkan. Ia lari dari cinta yang salah, memang seharusnya begitu sih.

Nata harus pergi untuk melupakan semua tetang perempuan itu. Ia juga tak berencana  pulang lagi ke indonesia.

Handphonenya sudah ia hidupkan sedari tadi, tidak ada notifikasi apapun yang muncul.

"Gue berharap kali ini bukan mimpi lagi, Ka. Gue harap itu memang Jaendra." Gumamnya.

Nata senang mengetahui bagaimana kabar sahabatnya itu. Ia bahagia Jaendra masih ada, sehingga perempuan itu tidak terus menangisi Jaendra. Bahagia? Bisakah di bilang Nata benar-benar bahagia? Persetanan dengan perasaan ini sudah sangat melelahkan. Nata tak akan pernah bisa menjadi bagian dari hidup Pika. Jaendra sudah di temukan, ia tak akan bisa lagi untuk perlahan masuk ke dalam rumah itu. Sudah pupus semua harapannya. Walaupun mama Pika menyetujui Nata untuk mempersunting Pika, agaknya dia terlalu jahat untuk perempuan itu.

Bagaimana bisa ia mengisi celah kosong di hati Pika, sedangkan yang membuat kosong itu sudah kembali.

Kebahagiannya kembali sempurna.

Andaikan ia memang sejahat itu, mungkin Nata tidak akan pernah memberi informasi tentang keberadaan keluarga Jaendra. Mungkin sudah ia biarkan semua alat penyangga hidup itu di cabut.

Memang takdir sudah menggariskan kebahagian kepada dua anak manusia itu, dan Nata tidak boleh merusaknya barang seinci pun.

Ia merelakan hatinya yang rusak, hati rusak sebab ulahnya sendiri.

"Gue yang salah jatuh hati sama lo, Pika! Gue yang salah." Nata mengepalkan tangannya sekuat mungkin. Menahan banyak amarah di dirinya sendiri.

Jatuh hati sama orang yang sudah punya tujuan pulang itu adalah hal yang paling bodoh.

Sudah jelas Pika tak akan bisa di miliki sedari dulu, tapi entah kenapa Nata tetap merentang untuk memeluk Pika. Ambisinya terlalu besar untuk menjadikannya ratu, dan kini semua sudah cukup. Cukup untuk sadar diri, bahwasannya selama ini hatinya salah. Salah singgah, salah jatuh cinta.

Deringan ponselnya membuat Nata menatap lirih ke layar pipih itu. Nama yang tertera disana membuatnya menyunggingkan senyum.

"Ta, Aku ketemu Andra."

Dapat ia rasakan bagaimana bahagianya perempuan itu, dari suaranya yang terdengar mengebu-gebu sudah menjelaskan bahwa perempuan itu sangat bahagia. Air mata yang sedari tadi sudah tergenang di pelupuk mata, akhirnya jatuh begitu saja. Ia terisak.

Panggilan itu masih tersambung, namun hanya isakan Nata yang kini terdengar. Tidak ada sepatah katapun yang mampu Nata lontarkan. Entah ia menangis bahagia, atau sedang menangisi keadaannya. Entahlah.

"Nata." Sapaan di sebrang sana membuatnya menarik nafas panjang, mengatur pernafasannya yang kini terasa amat sesak.

"Lo ga pa-pa kan?" Suara Pika terdengar khawatir. Sudah lebih dari lima menit hanya suara tangisin yang terdengar. Nata menggeleng, ya walaupun perempuan itu tidak akan bisa melihat gelengannya.

"Taaa..." 

"Syukur deh. Gue senang banget dengarnya." Akhirnya ia berucap walaupun dengan suara seraknya.

🌌








Gue ga tau bahagia dan senang apa yang kini gue rasain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue ga tau bahagia dan senang apa yang kini gue rasain. Semuanya bersatu sama rasa sakit yang gue alami.

Sadana Hardianata

Langit 33.000 Kaki [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang