02. Perkara Janda

62 70 23
                                    

"Janda.. Janda.."

"Jaendra, Pika! Bukan janda." Keselnya.

"Sama aja mirip itu," jawab Pika tak mau kalah.

"Jaendra pokoknya Jaendra bukan Janda okey." Finalnya dan berdiri dari bangku itu.

Ia berjalan meninggalkan Pika. 

"Ihh.....mau kemana tungguin aku," teriak Pika dan berlari kearah Jaendra.

"Sayang!!!" Pika berteriak dan meloncat kepunggung laki-laki itu.

"Panggil sayang aja deh." Bisik Pika di telinganya.

Jaendra tersenyum geli.

"Bagusan itu pada kamu manggil aku janda."

"Tapi aku suka Janda, lucu aja."

"Pikaaa!!! Mama aku motong Kambing dua ekor loh buat namain aku." Ia geram  bukan main, tapi wajah marahnya itu terlihat sangat lucu.

"Ihh hati-hati untung aku engga terjungkal ini." Kesel Pika, sebab Jaendra tiba-tiba saja menurunkan Pika dari punggungnya.

"Iya iya Ja-en-dra, Ja-en-dra, bukan Janda." Pika mengeja namanya dan menatapnya sebal.

"Arghh, Sakit tau."

"Habisnya siapa suruh kamu gemes." Kekehnya dan seenaknya mengacak pucuk kepala gadisnya.

"Pipi kamu makin gembul aja, makin gemes aku sama kamu." Ia menangkup pipi Pika dan menggerakannya kekanan dan kekiri.

"LEPASIIINNNN!!"

"Semua gara-gara kamu aku jadi gembul gini!" Ucap Pika dan melengkungkan bibirnya kebawah.

"Kan di kasih Vitamin."

"Vitamin apa?"

"C."

"Cinta." Lanjutnya sembari tertawa terbahak-bahak.

Pika hanya diam menyimpan kegereman di depannya, lelaki itu tak juga berhenti tertawa. Dia tertawa begitu lebar hingga mungkin saja mulutnya yang menganga itu bisa kemasukan lalat.

Mudah-mudahan masuk lalat.

"Mau kemana?"

Jaendra berlari kecil mengejar Pika yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.

"Mau pulang!! Kamu ngeselin," kata Pika dengan raut wajah yang sangat kesal.

"Ga mau makan dulu?" Kini langkah kaki mereka telah sejajar.

Pika berhenti dan menukikkan alisnya tajam ke arah Jaendra.

"GA MAUU!! ENTAR AKU MAKIN GEMBUL," ucapnya dengan penekanan.

"Emang kenapa kalau makin gembul? kan lucu, gemes gitu."

"Entar aku jelek, kalau aku jelek kamu ninggalin aku, terus nyari yang lebih cantik." Pika tertunduk menatap ujung sepatunya sendiri.

Tanganya yang kekar itu dengan lihai merapikan anak-anak rambut Pika yang berantakan, ia menyelipkannya di telinga sang gadis.

"Siapa yang bilang aku bakalan gitu? Aku suka dan jatuh cinta sama kamu itu benar-benar cinta, tulus, dan ga mandang fisik kamu. Manusia itu ga semuanya sempurna, Pika. Kalau aku ninggalin kamu, karna kamu gendut, aku bakalan jadi cowok yang paling bodoh di dunia karna nyia-yiain perempuan sebaik dan sehebat kamu ini." Senyum Jaendra melengkung begitu lebar sebab ia tersenyum begitu baik. Manis dan Menenangkan.

"Aku yang bilang gitu karna aku takut aja."  jawab Pika, namun gadis itu tidak berani menatap wajahnya.

Ia menganggkat dagu Pika, mempersilahkan dua mata Pika menatap lekat pada matanya.

"Jangan berpikiran gitu, Pika. Kan aku yang buat kamu jdi gembul gini, jadi aku harus tanggung jawab dong." Kekehnya.

Tanpa sabar Pika pun tertawa geli mendengar ucapannya.

"Ya udah ayo makan aku lapar." Pika menarik kuat lengan kekar Jaendra.

Ia tersenyum. "Katanya entar gendut," godanya.

"Katanya kamu ga akan ninggalin aku."

Ia mengacak pucuk kepala Pika dengan lembut. "Mau makan apa?"

"Ketoprak."

》》》

Langit sore ini berwarna sangat cantik, jingga. Angin yang berhembus menggoyangkan dahan-dahan pepohonan, daun-daun yang tak lagi kuat itu jatuh bertebaran di tanah dan ada yang terbang entah kemana dibawa sang angin.

Pergi tanpa tujuan yang pasti.

"Aku ga pernah nyangka semuanya bakalan berujung gini," ucap Pika setelah selesai meneggak air mineral itu.

"Udah takdir mau gimana lagi, ujung dari setiap cerita itu kita ga pernah tau. Cuma sang pembuat skenariolah yang tau," ucapnya sembari memasukan suapan terakhir ketoprak itu.

"Lucu banget dulu aku ngeledekin nama dia 'Janda janda' sekarang aku yang jadi Janda," kekeh Pika pelan, dan menatap ke arah Nata.

Yang ditatap hanya diam, hening saling menyelimuti mereka berdua. Tidak ada yang membuka suara sampai bunyi petir terdengar nyaring di telinga, mengejutkan semua orang disini.

"Balek ayok. Entar lagi hujan," katanya. Memecahkan keheningan yang sedari tadi tercipta.

Pika hanya mengangguk dan mengekorinya dari belakang.

Keheningan yang tercipta tadi masih berlanjut hingga perjalanan pulang ini berakhir di depan gerbang rumah Pika. Langit telah gelap sebab hujan jatuh begitu deras.

"Mau singgah dulu?" Tawar Pika.

"Ga usah deh, aku mau langsung pulang aja." Tolaknya sopan dan menyodorkan payung ke arah Pika.

Pika hanya ber'oh' kecil sembari mengambil payung di tangannya.

Klakson mobil itu berbunyi,tanda Nata akan pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Masih Pika tatap mobil Nata sampai ia tak terlihat lagi.

Hujan di luar ini sangat deras, hawanya sangat dingin sampai menusuk tulang.

Aku butuh kehangatan.

"Aku pulang," ucap Pika dan melangkah masuk kedalam rumah.

Mereka  kini sedang asik menikmati secangkir teh hangat dan cemilan kecil.

"Ayo gabung," tawar kakak laki-laki Pika.

Pika mengelengan kecil, "Maaf aku mau istirahat aja."

Mereka paham beta lelahnya hari Pika hari ini.

"Langsung tidur aja ya!! Istirahat yang cukup," ucap Mama, yang Pika balas hanya dengan senyuman.

Kaki Pika melangkah ke lantai dua rumah ini, rumah yang sudah ia tinggali selama ini, rumah yang tak bisa di jadikan tempat pulang, bahkan Pika sendiri sebenarnya tidak ingin datang lagi kesini.

Kasur yang empuk ini merima lelah dan sakit punggungnya. Merebahkan tubuhnya dan menatap langit kamar yang terasa begitu kosong.

Air mata ini jatuh tanpa dipersilahkan, terjun melesat begitu saja.

"Aku capek, aku rindu!" Isaknya. Di balik bantal ini. Musik ini sangat menyebalkan, tangis yang sangat menyakitkan.

🌌




Langit 33.000 Kaki [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang