20. Dandelions

4 2 0
                                    

Di ruang kerja yang tampak kacau itu, Juan duduk terdiam dengan amarah yang menggebu-gebu. Lelaki itu tidak sanggup lagi melihat kebodohan temannya ini, tadi saat meeting baru di laksanakan tiba-tiba saja Nata membatalkan acaranya itu. Kontrak kerja yang sangat sudah lama ia nanti-nanti, ia sia-siakan begitu saja. Nata membatalkan kontrak itu sepihak yang membuat perusahan harus membayar penalti.

Alasannya sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kalau saja alasannya sangat-sangat jelas, semua bisa Juan terima. Dan lelaki itu tidak mungkin mengacak ruang kerjanya sendiri.

"Bodoh." Umpatnya. Dasinya sudah ia longgarkan. Tidak hanya ruangan saja yang berantakan, tapi pakaiannya pun tidak lagi serapi pagi.

Nata pergi ke Jepang, lelaki itu memang memilih pergi dari negara yang banyak menciptakan luka sebab ulahnya sendiri. Ia ingin hidup lebih tenang di negara sang papa.

"Gue hari ini berangkat ke Jepang. Soal kerja sama itu batalin aja, gue udah ga mood."

Kalimat singkat itu membuat Juan marah semarah-marahnya. Juan menggangung rasa malu terhadap tamunya.

Mobilnya sudah keluar dari parkiran perkantoraan. Membelah lautan kendaraan yang begitu ramai.

》》》

Bandara hari ini terlihat begitu ramai. Lelaki itu berjalan santai dengan koper yang tak begitu besar di tangannya. Ia menyerat koper itu dengan lunglai.

Ia duduk terlamun di boarding lounge bandara. Ponsel yang ia matikan tadi kini ia hidupkan kembali, banyak sekali panggilan masuk dari Juan. Nata terkekeh saat melihat pesan carut marut dari Juan.

Juan

BANGSATT!!

ANJING LO NATA

SADANA HARDIANATA!!

AWAS LO NYESAL.

GUE MALU ANJING!! OTAK LO BENAR-BENAR GA DI PAKE.

BEGO!!

Pesan-pesan umpatan itu membuatnya terkekeh. Caci maki itu memang pantas ia dapati. Bisa-bisanya ia tumbang hanya perkara cinta, cinta yang menjadi malapetapak. Asal mulanya pun dimulai dari dirinya. Andaikan saja ia tak baper pada perlakuan Pika padanya, Andaikan saja ia bisa menepis benih asmara itu, mungkin dirinya tak akan seperti ini. Tak akan semenyedihkan ini.

Tadi saat pamit pada Jaendra, Nata sangat-sangat merasa bersalah. Bisa-bisanya ia mencintai wanita yang sangat di cintai sang sahabat. Bodoh.

Ponselnya bergetar, membuat Nata terburu mengangkat panggilan itu.

"Nanti telepon saja sama nomor yang saya kasih tadi. Tolong beri tau dia dengan hati-hati. Jelaskan secara pelan-pelan." Finalnya.

Lelaki itu kembali mematikan ponselnya dan memasukkan kedalam tas sandang yang ia kenakan.

Nata memandang nanar pada luar kaca jendela. Birunya langit siang ini nampak indah di matanya yang mulai memburam. Lelaki itu ingin menangis, tapi malu.

Bahunya di tepuk oleh seorang perempuan yang duduk di sampingnya, Nata menoleh sembari menyeka air mata yang hampir terjun itu. Perempuan itu menawarkan tisu ke arahnya, tanpa berpikir panjang Nata terima pemberian perempuan itu.

Langit 33.000 Kaki [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang