Seokjin selalu waswas kalau ada telepon masuk tengah malam. Takut kalau itu adalah panggilan darurat yang berisi berita duka atau berita tidak menyenangkan lainnya. Jantung pria itu makin berdebar kencang setelah melihat nama sang istri tertera di layar ponsel sebagai penelepon yang menghubungi pada pukul satu dini hari.
"Kenapa, Yang?" tanya Seokjin cepat sesaat setelah menjawab panggilan.
"Mas ... huhu ... Mas ...."
"Iya, iya, kenapa? Kenapa nangis? Terjadi sesuatu? Tenang dulu, tarik napas dalam-dalam terus—"
"Mas, aku minta maaf. Huhu!"
Punggung Seokjin seketika dingin, seperti ada air es yang dialirkan setelah mendengar tangis Sojung makin jadi. Wanita itu juga berulang kali meminta maaf, mirip seperti saat Sojung baru saja keguguran dan wanita itu merasa bersalah karena tidak mampu menjaga buah hati mereka.
"S-sayang, ada siapa di sana? Mama Papa mana? Kamu udah dapat penanganan? Kamu di rumah Mama, kan?"
"Mas, aku minta maaf banget."
"Iya iya, Mas maafin meskipun nggak tahu kamu minta maaf buat apa karena bagi Mas, kamu nggak salah apa-apa. Apa pun yang terjadi, itu bukan salah kamu, udah takdir Tuhan dan ... Mas ikhlas." Tenggorokan Seokjin sudah tercekat, endapat air mata di pelupuk mata sudah siap meluncur, hanya saja pria itu masih menahannya sebisa mungkin, tidak ingin menambah kesedihan atau kepanikan Sojung.
Walau katanya ikhlas, nyatanya hati Seokjin nyeri karena mungkin dia harus mengalami kehilangan lagi.
"Nyatanya aku salah, Mas," sahut Sojung masih terisak. "Aku salah!"
"Nggak, Sayang. Kamu nggak salah."
"Aku salah huhu!"
Mendengar tangis yang makin keras, Seokjin makin panik. Ke mana orang-orang di sekitar Sojung? Kenapa tidak ada yang mengacuhkan istrinya yang sedang sesenggukan begitu? Kenapa tidak ada yang memedulikan kondisinya yang mungkin sedang dalam bahaya?
"Sayang, kamu di mana sekarang? Mama Papa—"
"Mas, sumpah aku minta maaf, aku nyesel banget banget banget."
"Iya iya, aku maafin, sumpah!"
"Bener?" tangis Sojung mulai reda. "Kamu nggak dendam sama aku, 'kan?"
"Kenapa harus dendam? Emangnya kamu ngapain? Kamu nggak buat dosa ke aku, Jeon Sojung."
"Aku ludahin kamu dulu, Mas," jawab Sojung waswas dengan suara lirih.
"Hah?" Seokjin mengerjap cepat dan menekan tombol volume up, siapa tahu dia salah dengar tadi. "Aku berdosa karena ludahin kamu dulu dan aku nyesel, aku ... aku ...."
Tangis Sojung pecah lagi, Seokjin panik lagi.
"Sayang, sebenernya kamu kenapa? Kenapa juga nggak ada yang nolongin kamu?"
"Aku sedih, Mas," jawab Sojung sesenggukan. "Tiba-tiba aja aku mimpi kejadian dulu setelah Eunha tanya apa bener dulu kita sering berantem dan itu jadi kebawa mimpi. Aku sedih karena dulu nggak berbakti sama kamu, malah ludahin kamu, bikin kamu pincang dan bibir kamu luka, aku kurang ajar bang—"
"J-jadi kamu nelepon aku tengah malam gini sambil nangis gara-gara mimpi?"
"Nggak tepat disebut mimpi, nyatanya dulu aku memang pernah sekurang ajar itu sama suami huhu!"
"Astaga, Sayang ... sumpah cuma gara-gara mimpi?"
"Bukan cuma, Mas!"
"I-iya iya," jawab Seokjin kewalahan. "Bener-bener karena mimpi aja, kan? Bukan karena bayi kita kenapa-napa?"
"Bayi kita sehat, Mas, tadi aku makan banyak," jawab Sojung yang suaranya masih sengau.
Dari seberang telepon, suara helaan napas lega Seokjin terdengar. Seharusnya Seokjin bertanya lebih dulu sampai mendapatkan jawaban dengan jelas, bukan malah langsung panik dan berpikir yang tidak-tidak karena ternyata, alasan Sojung menangis sama sekali bukan hal yang patut dikhawatirkan.
Sojung hanya sedang masuk ke mode aneh bin ajaibnya, hal yang tidak lagi mengherankan sejak wanita itu hamil.
"Mas, aku minta maaf."
"Iya, Sayang. Ya ampun, dalam beberapa menit aja udah berapa kali kamu minta maaf? Aku sama sekali nggak mikirin itu lagi, bahkan udah lupa."
"Aku masih kepikiran, Mas. Aku kurang ajar banget, padahal kamu suami aku."
"Dulu kan kita belum nikah, Sayang."
"Tetep aja ...."
"Udah, ya, aku maafin kamu, sekarang kamu tidur lagi, oke? Jangan mikirin hal nggak penting."
"Mas ...."
"Hm?"
"Kalau anak kita cowok gimana?"
"Gimana apanya? bagus, dong, nanti gantengnya sama kayak aku."
"Ih, bukan itu," sahut Sojung kesal. "Kalau anak kita cowok, nanti dia dapat karma karena dosa ibunya gimana?"
"Karma apa lagi, Sayang?"
"Karma karena ngeludahin kamu."
Seokjin langsung menepuk dahi kuat-kuat. Lama-lama frustrasi dia mengobrol dengan istrinya.
"Aduh, nggak bakal. Udah, ya, overthinking-nya besok lagi, sekarang bobo dulu. Bayi kita kan butuh istirahat juga."
"Mas, kamu beneran maafin aku, kan?"
"Iya, sayang," jawab Seokjin geregetan. Kalau Sojung ada di sampingnya, pasti sudah dia ciuma dan peluk istrinya erat-erat supaya tidak bicara lagi.
"Udah, ya, jangan ngomongin ludah lagi, aduh, nggak elite banget obrolannya. Kamu sama dedek bayi bobo dulu. Besok kita video call."
"Iya," jawab Sojung. "Good night, Mas. Love you."
"Love you too, Honey."
Panggilan itu akhirnya diputus oleh Sojung. Seokjin akhirnya bisa benar-benar mengembuskan napas lega dan kembali melanjutkan tidur, sebab besok pagi-pagi sekali sudah harus bersiap-siap bertemu klien.
Tring tring!
Baru lima menit Seokjin memejam, pria itu kembali terusik oleh dering ponsel. Peneleponnya sama, istri tercinta.
"Kenapa lagi, Sayang?"
"Mas, Honey, siapa?"
"Hah?"
"Kamu manggil aku honey tadi."
"Loh, ya berarti itu buat kamu, Honey."
"Kamu nyaris nggak pernag panggil aku begitu, selalu sayang. Kenapa tiba-tiba honey?" tanya Sojung penuh rasa curiga. "Ada cewek lain yang kamu panggil honey?"
"Cuma kamu, Sayang," jawab Seokjin frustrasi. "Kan honey versi Inggrisnya sayang. Udah, ya, kan tadi katanya mau tidur, masa sekarang—"
"Mas, selain mimpiin masa lalu, aku juga mimpi kamu ketemu cewek lain di sana. Jujur sama aku, kamu ...."
Ocehan itu berlangsung panjang dan selama satu jam Seokjin berusaha keras menahan emosi, mengumpulkan sebanyak-banyaknya kesabaran hanya untuk memberi penjelasan agar istrinya yang super-overthinking malam ini mau menutup telepon setelah mengenyahkan segala rasa curiga dan resahnya.
Sabar, Seokjin .... Pria itu membatin seraya mengusap dada.
4/12/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati Pak Su
عاطفيةMemangnya cuma istri yang punya suara hati? Suami juga punya!