Meskipun sudah mendapat kepastian bahwa ada satu nyawa yang hidup di perut Sojung dan usianya kini memasuki lima minggu, tetapi sepulang dari rumah sakit, pasangan tiga tahun menikah itu tidak benar-benar bisa tersenyum bahagia. Masih ada kekhawatiran yang membuat mereka tegang setelah dokter mengatakan kandungan sang istri cukup lemah.
"Kalau pernah ada riwayat keguguran, rentan kejadian lagi. Jadi, kondisi ibunya harus dijaga betul, ya, Pak." Begitu pesan dokter pada Seokjin. "Jangan terlalu capek dan stres, pilihkan makanan yang sehat dan bergizi juga. Junk food atau kopinya libur dulu."
"Menurut Mas gimana?" Sojung memberi tatapan memelas pada suaminya. Guna mengurangi gelisah, wanita itu memainkan sedotan pada gelas jus alpukat di hadapannya. Dari yang bersemangat pergi ka kafe langganan untuk makan camilan, sekarang wanita itu menjadi murung setelah terlibat obrolan serius dengan sang suami.
Sojung berharap bisa mendengar apa yang diharapkan, tetapi sepertinya kecewa akan lebih mungkin dia rasakan.
"Kamu tahu sendiri, kan, aku nggak pernah mempermasalahkan kamu mau kerja atau enggak, kamu sibuk sampai nggak pulang demi ngurusin hotel ketimbang ngurusin suami pun, aku bisa ngerti dan maklum selama kamu senang dan kamu mampu.
"Masalahnya, sekarang ... jujur aja, aku nggak mau ambil risiko dan mempertaruhkan nyawa bayi kita. Pekerjaan kamu tuh capek banget, Yang. Kalau kamu nggak lagi hamil atau bayi di perut kamu kuat, aku nggak akan khawatir, tapi kamu denger sendiri tadi kata Dokter Irine. Kamu nggak boleh kecapekan dan stres, sedangkan jadi supervisor untuk hotel sebesar itu mana mungkin nggak gila."
"Jadi, aku ... harus ngundurin diri gitu?" simpul Sojung yang telah kehilangan rona di wajah. Aura wanita itu mendadak suram setelah menyadari nyaris tidak ada pilihan maju untuk mempertahankan kariernya.
Seokjin mendesah dan menatap iba pada sang istri. "Maafin aku, kalau aja rahimnya bisa dipindahin, biar aku aja yang ngandung dan resign."
"Kok malah Mas yang minta maaf?" Sojung mengerucutkan bibir. "Terus, jangan bilang gitu, ah! Aku nggak bisa bayangin kamu hamil."
Mendengar keluhan istrinya, Seokjin tertawa pelan. "Nggak usah dibayangin, Yang. Nanti aku lihatin langsung gimana kalau aku hamil. Tinggal masukin bantal ke baju, gampang!"
Bicara serius dengan Seokjin memang jarang bertahan lama. Sekarang, Sojung sudah bisa kembali tertawa dan menendang kaki suaminya yang duduk berseberangan. "Kamu, nih, bisa aja!"
"Gitu, dong, ketawa, jangan cemberut," kata Seokjin sembari mencubit pipi sang istri. "Masalah kerjaan, kamu coba pikir baik-baik lagi, deh. Bagaimanapun, kamu juga yang lebih tahu segimana kemampuan kamu dan aku nggak mau kamu terburu-buru memutuskan, tapi malah menyesal di kemudian hari."
Sojung mengangguk seraya tersenyum lebar. "Makasih, Mas."
"Udah jam sembilan. Pulang, yuk! Bumil nggak boleh begadang, loh."
"Gendong sampai parkiran," pinta Sojung manja.
"Ya ampun, dedek bayi udah mulai ngadi-ngadi, ya," komentar Seokjin, "udah bisa bikin mamanya minta aneh-aneh."
Sojung tergelak tanpa menyangkal ucapan Seokjin. Permintaannya memang aneh, padahal biasanya Sojung bukan orang yang akan dengan mudah mengumbar kemesraan atau sikap manja di depan umum. Di hadapan orang lain, Sojung ingin terlihat sebagai wanita mandiri dan independen, meski kenyataannya, semua menjadi berkebalikan jika hanya berdua dengan sang suami.
Namun, mungkin karena pengaruh hormon kehamilan, beberapa hari belakangan Sojung mendadak tidak lagi peduli pada pandangan orang lain soal sikap manjanya, termasuk hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati Pak Su
RomansaMemangnya cuma istri yang punya suara hati? Suami juga punya!