10. Sate Impian Istriku

105 19 20
                                    

"Wahai saudara Seokjin yang budiman, kapankah kiranya engkau sampai?"

"Sebentar lagi," jawab Seokjin jengkel. Laki-laki itu masih dalam perjalanan, kira-kira tiga puluh menit lagi sampai, tetapi sejak dua jam lalu, adik iparnya menelepon berkala hanya untuk bertanya sudah sampai mana, berapa lama lagi sampai, kenapa lama, dan berbagai kalimat sejenis.

"Jangan nelepon mulu, ini gue lagi nyetir!"

"Kalau nggak mau ditelepon, buruan ke sini!" Jungkook balik menyembur. Daripada Seokjin, sepertinya Jungkook lebih gondok. "Istri lo ngerepotin gue mulu kerjaannya!"

"Ya sesekali lo berbakti sama mbak lo,. Jadi orang nggak usah itung-itunganlah, lo kayak nggak pernah dibaikin aja sama gue, sama Sojung."

"Kalo bini lo normal mah gue oke aja, tapi ini mintanya aneh-aneh."

"Minta apa, sih? Belum sampe minta bawain pulang bulan atau tur ke Pluto kan?"

"Ya enggak, tapi tetep aja ngeselin. Pengin mi ayam tapi nggak usah pake mi tuh gimana? Pengin ada togenya tapi sama sekali nggak mau ada kepalanya, harus buntung semua, gue yang buangin kepalanya satu satu!

"Kemarin juga pengin ayam goreng tapi ayamnya harus gue yang sembelih. Kan mau nggak mau mendadak jadi tukang jagal gue. Kalo bukan dipaksa Mama, gue ogah. Untung bukan minta sapi!"

Mendengar keluhan adik iparnya, seketika Seokjin merasa lucu sekaligus kasihan. "Ya udah turutin aja kalo mbak lo minta apa-apa lagi," sahut Seokjin sambil berusaha menahan tawa. Kalau sampai tawanya lepas, bisa-bisa merajuk si gigi kelinci, alhasil Sojung juga yang kesusahan karena tidak punya babu lagi.

"Lagian permintaannya walau bikin repot, kan masih bisa diusahain. Bentar lagi gue sampai, coba tanya Sojung, ada yang mau dititip nggak? Biar lo juga nggak bolak balik beli ini itu."

"Tadi katanya mau susu sapi jantan."

"Oh, oke nan—heh, jangan ngadi-ngadi!" Seokjin memelotot, sedangkan di seberang sana Jungkook malah tertawa puas.

"Bercanda, Om. Mending lo nggak usah tanya-nya gituan, Bang. Nanti kalau maunya aneh-aneh, lo sendiri yang susah. Lagian sekarang lagi anteng bini lo, makanin biskuit bayi sambil nonton Park Haejin."

"Biskuit bayi?"

"Iya, kemaren juga minta dibeliin Promini sama Nelse. Dia mau nyoba semua varian, dari bubur kacang ijo sampe beras merah. Lo kalo emangmau beliin sesuatu, beliin itu aja."

Helaan napas kasar langsung terdengar, belum lagi lahir si jabang bayi, sepertinya dia sudah harus menyiapkan jatah uang bubur dan biskuit bayi untuk bayi besarnya.

Kurang lebih 45 menit kemudian, si calon papa sampai di kediaman sang mertua. Sojung dengan wajah semringah dan secerah mentari pagi langsung berlari menyambut kedatangan sang suami.

"Yang, perut kamu udah gede gitu, jangan lari-lari. Aduh, kalo jatuh gimana?"

"Aku nggak bakal jatuh, tenang aja, Mas," kata Sojung menenangkan seraya mengalungkan kedua tangan ke leher suaminya.

"Bukan kamunya, perut kamu nanti jatuh." Sojung langsung memelotot dan memukul pantat Seokjin karena kesal.

"Bercanda, Sayang," kata Seokjin buru-buru. Pria itu lekas membalas pelukan sang istri yang amat dirindukan, tidak lupa mencium bibirnya pula. Sudah cukup LDR tiga hari, lebih dari itu, mungkin Seokjin bisa sakit akibat rindu. Seperti kata Dilan, rindu memang berat.

"Mesra-mesraannya nanti lagi, sekarang masuk dulu. Makan siangnya udah siap!"

Suara sang papa mertua mengakhiri ciuman mereka di halaman rumah. Seokjin langsung memasang senyum kikuk dan mengangguk.

Suara Hati Pak SuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang