• 𝐈'𝐦 𝐨𝐧 𝐡𝐢𝐬 𝐛𝐢𝐠 𝐬𝐡𝐨𝐮𝐥𝐝𝐞𝐫

371 51 0
                                    

Raut masam tertera di wajahnya. Aura tak mengenakan di sekelilingnya. Kiyotaka Ijichi mengambil tempat duduk tepat disebelah Nanami Kento. (Y/n) sungguh kesal dengan pria megane itu.

"A-ano...Aku akan duduk ditempat lain kalau begitu." Ijichi bangkit dari duduknya, mendaratkan bokongnya di kursi lainnya.

Kobaran api pun padam seketika. Dengan sigap (Y/n) duduk di sebelah Nanami. Kini tali kurva melengkung tampak di parasnya. Hingga suara bariton terdengar.

"Dasar anak muda jaman sekarang. Tidak ada sopannya kepada yang lebih tua." Sang perempuan menangkap suara lelaki di sampingnya. Dirinya tahu jikalau Nanami Kento sedang mengatainya.

"Gomenasai, Nanami-san. Aku hanya ingin duduk denganmu." Kata (Y/n) sembari menolehkan kepalanya kepada Nanami. Si lelaki pirang itu tak mau menyatukan kontak mata mereka. Menyibukkan pandangannya ke sembarang arah.

(Y/n) mendengus geli, mulai memainkan jemarinya tak nyaman. "Uhh, aku buatkan sesuatu untukmu. Diterima, Nanami-san." Tangannya terjulur, mengambang diudara menanti sang pria mengambilnya.

"Aku tidak lapar." Balas Nanami cepat saat sudut matanya mengetahui apa yang diberikan perempuan disampingnya itu. Roti panggang isi cokelat.

"Cobalah dulu, Nanami-san. Aku yakin pasti enak." Ucap si jelita bersikeras.

"Bisakah kau berhenti berisik? Sudah kubilang kalau aku tidak lapar."

"Terimalah dulu, Nanami-san. Lalu aku janji tidak akan berisik."

Sekotak roti panggang cokelat dirampas begitu kencang. Sang pemberi sampai cukup terkejut. Tak apalah, yang penting diterima, begitu pikirnya.

"Arigatou." Kata (Y/n) sembari melempar senyuman manis ke sampingnya.

Teringat suatu hal, ia melanjutkan bicaranya, "Ah, kalau kau memang harus mengembalikan tempatnya melalui orang lain lagi, lebih baik tidak usah. Semua itu untukmu. Kau juga boleh membuangnya. Tapi, pastikan dulu kau sudah memakannya ya, Nanami-san."

Sang perempuan menetapi janji kecilnya. Dirinya tak lagi berisik mengusik pendengaran si pria pirang itu. Berpura-pura sibuk mengamati bagaimana pemandangan diluar jendela. Sudut matanya memantau kotak makanan di atas paha besarnya Nanami. Tidak ada inisiatif si pria 'tuk menyentuhnya.

Hembusan nafas berat terdengar panjang. Nanami Kento dengan muka letihnya. "Tidak mungkin sekali aku dengan anak di bawah umur." Gumamnya.

Meski kecil juga berat, indera pendengaran (Y/n) dapat menangkapnya dengan jelas. Lalu ia terkekeh ditempatnya, "Umurku sudah legal, Nanami-san."

"Diam. Berisik."

Lamanya durasi perjalanan menempuh titik tujuan memakan waktu berjam-jam. Rasa kantuk sampai kepada (Y/n). Bibir persiknya menguap sesekali. Tak lupa dengan sudut matanya yang masih mengawasi tempat makanan yang masih diam tak bergerak disana.

Tak kuasa menahan, jiwanya pun mulai memasuki bunga tidur. Harap dirinya dapat menjalin kasih dengan Nanami Kento di mimpinya. Setidaknya dirinya bisa berbahagia bersama-sama dengan seorang pria penguasa hatinya itu.

Kepala si jelita kian sering oleng ke jendela di sebelahnya. Sampai di saat dirinya ternyenyak, suara bertumbukan terdengar keras disertai pekikan dengan oktaf yang tinggi.

"AWW!!" (Y/n) mengusap-usap lembut tengkoraknya.

Beruntung seisi bus juga pulas terlelap, dan teriakan (Y/n) tidak jadi masalah. Terkecuali dengan rekan sebangkunya, Nanami Kento. Pria itu sampai memijit kecil pangkal hidungnya, mencoba lebih sabar lagi di tempatnya.

"Sudah kubilang jangan berisik!" Desus Nanami keras.

Ucapan maaf diujarkan. (Y/n) masih dengan rasa sakit yang kian berdenyut di kepalanya. Mengaduh kesakitan dalam diamnya.

Diri masih ditarik rasa kantuk, namun ditahan mengingat ada jendela di sebelahnya. Pasti terantuk lagi nanti, pikirnya.

Mengalihkan pandangannya ke sebelah satunya lagi. Tampak Nanami dengan mata tertutup. Netra violet miliknya turun, memandangi bahu besar pria itu. Membayangkan betapa nyamannya jikalau dirinya tidur disana. Berpikir sejenak, diri kemudian bergerak kecil berusaha tak bersuara. (Y/n) menidurkan kepalanya tepat di bahu besar itu.

Ini nyaman sekali.

Tak lama kemudian diri kembali memasuki dunia mimpi. Meninggalkan Nanami Kento yang masih tetap bersandiwara seakan-akan juga ikut terlelap bersamanya. Kotak makanan di atas pahanya pun masih berdiam di tempat.

Nanami Kento mengusap kasar wajahnya. Ia lalu mengarahkan pandangan kepada sang perempuan. Bergerak diam-diam membaguskan posisi (Y/n) agar tak salah tidurannya. Ia akhiri dengan memberi usapan halus dipuncak kepala si jelita.

Wajah tampannya menengadah, menatap langit-langit. Kini diri berkutat dengan isi pikiran di kepalanya. Memikirkan alasan-alasan yang membuat pembodohan padanya. Nanami Kento, si pria menyedihkan yang berlaku bodoh pada cerita asmaranya.

Nanami lalu tunduk, menatap sekotak roti panggang cokelat di depan matanya. Tangan kanannya bergerak, sedangkan si tangan kiri di diamkan supaya (Y/n) tak terganggu.

Satu buah roti panggang isi cokelat sudah di ambilnya. Mengarahkan masuk ke dalam mulut dan mengunyahnya. Nanami Kento mengadu enak pada batinnya.

Kau tahu (Y/n), aku pun berpikir kalau alasan faktor umur juga terdengar bodoh.

Roti panggang cokelat kedua diraih, digigit penuh rasa nikmat. Sudut mata sang pria sesekali melirik kecil pada (Y/n) disana.

Aku tidak akan mau mengatakan apa alasan sebenarnya. Itu akan menyakitimu, begitupun aku.

Setengah dari isi kotak makanan itupun telah dimakannya. Nanami menutupnya, berencana akan memakannya lagi nanti. Mendiamkan benda itu di pahanya seperti semula. Dirinya kembali memandangi ke atas.

Semuanya telah salah, (Y/n). Kau yang salah memilihku. Dan aku dengan alasan-alasan bodohku menjauhimu yang sungguh sangat membebaniku.

Singkatnya, aku hanya tak ingin kau tersakiti. Jadi, berhentilah.





•••

to be continued-

Whole To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang