Prolog

123 19 6
                                    

"Awal dari sebuah rahasia, tidak selalu berakhir dengan tirai terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Awal dari sebuah rahasia, tidak selalu berakhir dengan tirai terbuka. Terkadang, di ujung cerita yang akan ditemui adalah jalan buntu tanpa jawaban apa pun."

🕯️🕯️🕯️

Temaramnya malam yang harusnya tenang menjadi menegangkan kala suara tembakan terus terdengar dari tiap penjuru. Tiap teriakan kesakitan makin memperburuk suasana di permukiman kumuh itu.

Bau anyir darah dengan banyaknya tubuh yang tergeletak tak berdaya menandakan bahwa malam itu benar-benar sebuah kutukan. Beberapa kepala yang terpenggal turut teronggok begitu saja tanpa diketahui siapa pemilik aslinya.

"Masih ada yang tersisa dalam catatan hitam." Seseorang berpakaian hitam berbisik dengan beberapa teman kelompoknya, wajah mereka yang tertutup topeng hitam berhasil menyembunyikan ekspresi waspada akan sekitar.

"Aku sudah berkeliling sejak tadi, tidak kutemukan apa pun." Temannya dengan pakaian yang sama merespon.

Belasan orang itu kembali berpencar kala melihat benda pipih hitam itu masih menyala menyisakan tiga nama yang harus menjadi korban selanjutnya.

"Kepala sialan," maki salah satu dari mereka setelah tidak sengaja menginjak satu kepala dengan salah satu mata yang hilang entah ke mana.

"Hati-hati, jangan tinggalkan jejak apa pun, ingat itu!" bisik temannya dengan intonasi suara yang terlihat sekali menekan.

"ITU MEREKA, TEMBAK! SENSOR GELANG TIDAK MENDETEKSI MEREKA." Salah satu dari mereka berteriak kala melihat satu pria dan satu wanita dengan satu anak perempuan tengah berusaha kabur, suara pistol yang ditarik pelatuknya dan beberapa panah kecil beroleskan racun turut terlempar. Bersamaan dengan itu, benda pipih yang berisi catatan hitam itu terbuang entah ke mana.

Semua itu tepat sasaran, terlihat tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di permukiman kumuh itu.

"Cepat pergi sebelum matahari terbit, Tuan Besar pasti sudah menunggu." Salah satu dari mereka memberi komando.

"Aku rasa ada yang bersembunyi di balik semak belukar itu," bisik salah satu dari mereka sembari menunjuk ke salah satu arah, teman-temannya menjatuhkan pandangan mereka ke arah yang dimaksud.

"Siapa pun itu, dia tidak termasuk ke dalam catatan hitam. Ayo, pergi dari sini!"

Mendengar komando dari temannya, semua orang dengan pakaian yang sama itu mengangguk dan langsung bergegas pergi. Meninggalkan banyaknya mayat dan genangan darah, benar-benar seperti tidak ada kehidupan lagi.

Kelompok itu menghilang dengan cepat sampai tidak menyadari bahwa catatan hitam yang tadi tidak sengaja dibuang masih menyala.

Setelah kepergian dari kelompok berpakaian hitam tadi, seorang anak lelaki delapan tahun keluar dari semak belukar yang menjadi tempat persembunyiannya sejak peristiwa mengerikan tadi bermula. Ia tampak santai berjalan sembari meneliti satu per satu mayat.

"Jadi, begini cara kerjanya." Bibir itu berbicara pelan dengan mata menjamah sekelilingnya.

Fokus dengan tiap mayat yang ia lewati, telinga tajamnya tiba-tiba menangkap rintihan meminta tolong. Menoleh ke asal suara, dapat ia lihat anak perempuan yang tampak seumuran dengannya. Di dada anak itu tertancap sebuah panah.

"Wah, kau masih hid– akh, kepala sialan!" Anak lelaki itu menendang sebuah kepala yang hampir saja membuatnya terjatuh, lalu kembali melangkah ke arah suara tadi.

"Kau sepertinya sekarat," katanya tanpa perubahan ekspresi sembari duduk di atas tanah, memandangi si kecil nan malang.

"To–tolong ...."

"Tenang, kau akan baik-baik saja jika bersamaku." Ia membantu si malang nan lemah tersebut untuk berdiri, biru di sekujur badan perempuan kecil itu membuat ringisan kecil keluar dari mulut si anak lelaki.

"Mereka benar-benar ceroboh."

Di setiap langkah mereka, selalu diiringi dengan rintihan dari si perempuan, sang penolong terus menerus merutuki sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh gadis kecil yang hampir sekarat itu.

"Kau akan baik-baik saja jika denganku, bertahanlah sedikit."

Kalimat tadi seakan menjadi mantra penenang yang anak lelaki itu ucapkan, tetapi terdengar seperti janji di telinga si anak perempuan. Keduanya tak tahu, bahwa malam itulah awal dari semua malapetaka terbesar yang akan terjadi di masa depan nanti.

Di mana egoisme manusia akan memakan sesamanya.

Di mana egoisme manusia akan memakan sesamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC

Sumber multimedia : Pinterest, nama pencipta tertera.

Halo!
Ini adalah karya baru saya! Semoga dengan prolognya, kalian tertarik untuk melanjutkan, ya.

Seperti biasa, kalau ada kritik dan saran, alangkah baiknya ungkapkan lewat kolom komentar atau DM, ya. Kalau ada typo, tolong ingatkan saya, ya!^^

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang