14 : Tujuan yang Sejalan

19 12 0
                                    

"Kalimat bohong yang paling sering dipercaya adalah, 'tiap luka selalu ada obatnya.'"

🕯️🕯️🕯️

Rumah bernuansa biru kini menjadi tempat berkumpulnya para remaja yang dipaksa bolos sekolah. Lingling tengah dimarahi oleh sang ayah karena nekad masuk sekolah meski sudah dilarang. Sedangkan yang lain, duduk diam menunggu giliran mendapat amarah dari sang pemilik rumah.

"Kejadian penculikan Ren dan Amita kemarin sudah pasti pancingan sekaligus gertakan, mengapa dengan kejadian itu kalian masih nekad masuk ke pintu kematian?"

Semua mulut, kecuali mulut ayah Lingling, terbungkam ketika giliran mereka mendapat ceramah. Diam-diam Amita merasa iri dengan Lingling, pria di depan mereka sekarang seolah menunjukkan jati diri seorang ayah dan ibu dalam satu tubuh.

"Kalian sudah tahu siapa dalang kejadian dari habisnya anggota Klub Kosong, mengapa masih mau bersekolah di sana?"

Kali ini Amita bingung, ayah Lingling bicara seolah tahu hal-hal yang terjadi di sekolah mereka. Apa mulut Lingling sebegitu bocornya jika mendapat sebuah informasi?

"Aku terpaksa menyekolahkan anakku di sana untuk mencari informasi si bajingan itu, sudah kupaksa Lingling untuk keluar, anak ini malah menolak." Ayah Lingling menunjuk sang putri yang masih menunduk sedari tadi.

Hening sebentar kala ayah Lingling mengambil pasokan oksigen, menatap satu per satu remaja-remaja yang kini menjadi tamu rumahnya. "Aku punya rencana yang kuyakini beberapa dari kalian akan setuju, tetapi jika ada yang tidak setuju silakan segera keluar dari rumah ini."

"Amita, Raka, dan Dewa, kalian merencanakan untuk menghentikan peristiwa Dua Kabisat, 'kan?"

Tiga nama yang disebut mendongak, mengangguk pelan sembari menatap netra ayah Lingling. Pria itu kini terlihat lebih tegas daripada awal-awal Amita mengenalnya. Sedikit melirik ke arah Lingling, Amita bisa melihat bagaimana Lingling berusaha menghindar untuk menatap netranya.

Pikir Amita, gadis itu sepertinya diam-diam menjadi mata-mata untuk ayahnya.

"Aku akan membantu kalian, tetapi sebelum itu siapa yang sekiranya tidak akan sejalan dengan tujuan ini?"

Netra ayah Lingling tertuju ke dua remaja lainnya yang sedari tadi masih terdiam. Pria bernama Arul Adian itu terlihat sekali menaruh keraguan pada jawaban yang akan diberikan oleh Theo dan Ren.

"Dua Kabisat? Maksud Om peristiwa gila yang banyak membunuh orang itu? Yang terjadi delapan tahun sekali?" Ren buka suara, memastikan apakah pernyataannya benar atau salah.

Ayah Lingling mengangguk. "Benar."

"Para korbannya selalu orang yang tidak memiliki gelang, 'kan?" Theo ikut bicara, tetapi kali ini dahi ayah Lingling sedikit mengkerut.

"Kau tidak sedang berakting, 'kan?"

Theo menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Untuk apa aku berakting? Aku hanya memastikan."

Ayah Lingling menatap tajam ke arah Theo, beberapa kali melirik ke arah Ren seolah hendak benar-benar tenggelam dalam netra kedua remaja itu.

"Kau Chandra Astheo, anak dari ketua organisasi Dua Kabisat yang digadang-gadang akan meneruskan pekerjaan ayahmu setelah kematian kakakmu."

Theo terdiam, wajah lelaki itu tampak sedikit kebingungan. "Kakak? Sejak kapan aku punya Kakak? Perihal meneruskan pekerjaan ayah, itu memang benar, tetapi aku sendiri tidak paham apa pekerjaan ayahku. Aku hanya beberapa kali diajak ke beberapa cabang gedung perusahaan ayahku. Yang mereka lakukan hanya membuat obat, dan alat-alat teknologi."

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang