29 : Ambisi dari Si Kepingan Memori yang Dilupakan

26 12 0
                                    

"Tidak ada yang lebih sakit daripada hidup dengan ingatan yang berbeda dari orang lain."

🕯️🕯️🕯️

"Aku tidur dengan Linky-girl! Amita-girl juga akan bergabung dengan kami!"

"Aku ingin satu kamar dengan Amita."

"Kau ingin Amita berbadan dua setelah liburan nanti, Raka?"

"Itu tidak–"

Ayah Lingling berdeham, menyebabkan atensi kini berpusat pada pria berkaos biru muda itu. Terdiam sebentar sembari melihat satu per satu manusia di depannya, barulah pria itu membuka suara.

"Kamar itu punya satu kasur dengan ukuran besar, lebih dari cukup untuk tiga orang. Linky, Amita, dan Ren akan tidur di sana."

Suara teriakan puas terdengar dari tiga nama yang disebut tadi. Ketiganya langsung masuk dengan membawa tas menuju ruangan yang tadi ditunjuk oleh ayah Lingling.

"Raskal, kau ingin satu kamar denganku atau ingin kamar pribadi?"

"Saya bebas, Om, tetapi sepertinya kalau tidak keberatan saya sekamar dengan Om saja, tampaknya salah satu dari mereka ingin punya kamar pribadi."

"Baiklah, Raka, Theo, dan Dewa, siapa yang–"

"Aku pilih kamar pribadi." Dewa langsung memotong lalu melangkah sembari membawa tasnya menuju salah satu kamar kosong, hasil akhir terpaksa Raka dan Theo tidur di satu kamar.

"Mungkin ini tidak terdengar penting, tetapi aku tertidur dengan lampu menyala."

Theo membuka pembicaraan ketika keduanya sudah berada di kamar. Dominasi putih bercampur kuning terlihat memenuhi tembok dan beberapa barang di kamar itu, cahaya matahari yang masuk lewat jendela menambah cerah di ruangan tersebut.

"Jangan khawatir, aku juga tidur dengan lampu menyala."

"Syukurlah, baiklah kalau begitu."

Ada dua ranjang kasur berukuran sedang di ruangan itu, yang satu rapat dengan tembok, yang satu lagi dekat dengan jendela. Dengan inisiatif sendiri, Raka memilih ranjang yang dekat dengan jendela.

Theo yang merasa terbantu dengan pilihan Raka merasa berterima kasih dalam hati. Dirinya kalau soal tidur, harus merapat pada dinding, wajib.

"Beberapa jam lagi menuju tahun baru," kata Theo berusaha mengajak teman sekamarnya bicara.

Raka mengangguk. "Masih ada sekitar sepuluh jam lagi, apa kira-kira yang akan kita lakukan–"

"Yo, Raka-babe! Lihat, bagaimana penampilanku?"

Si pemilik suara yang tanpa permisi masuk dan langsung memotong omongan Raka barusan adalah Ren. Gadis itu entah sejak kapan mengganti pakaiannya dengan bikini dan celana dalam, membuat lekuk tubuh gadis itu terpampang begitu nyata.

Tidak lama setelah kemunculan Ren, Lingling dan Amita menyusul di belakang dengan napas terengah.

"Kak Ren, sudah kukatakan untuk memakai itu nanti," kata Amita setelah mengatur napasnya.

"Matahari masih begitu terik di luar sana." Lingling ikut bersuara.

"Justru waktu yang tepat untuk berenang di pantai adalah ketika matahari itu terik! Raka-babe, kau belum menjawab pertanyaanku."

Pemilik nama yang disebut sejak tadi memalingkan pandangannya, Theo hanya menghela napas seolah sudah biasa dengan tingkah Ren. Memilih untuk berdiri, Theo berniat mengusir Ren dari kamar.

"Aku dan Raka akan menyusul nanti, kau sudah merusak mata suci teman kita, Ren."

"Oh shit! Apa Raka-babe tidak pernah melihat perempuan memakai pakaian renang seseksi ini?" tanya Ren, suaranya terdengar samar-samar mulai hilang karena Theo menutup pintu kamar itu setelah Lingling dan Amita juga keluar.

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang