26 : Manusia Selalu Berubah

26 11 0
                                    

"Hukum alam yang akan terus berlaku ialah, bunuh sebelum dibunuh."

🕯️🕯️🕯️

Cemas tergambar dari tiap wajah yang berkumpul di depan pintu putih itu. Beberapa di antara mereka duduk sembari menekan kepala, khawatir menyerang akibat melihat Amita dari kaca bulat di pintu ruangan itu.

Lewat dari empat jam mereka menunggu, belum ada kabar baik juga yang telinga mereka dengar. Dokter dan suster di dalam sana tiada hentinya mencoba berbagai cara agar kehidupan pasien itu masih bisa berlanjut.

"Apa Amita akan baik-baik saja?" Suara Lingling terdengar pilu, memandang lesu lewat kaca bulat itu.

Arul Adian selaku ayah gadis itu bisa dengan jelas menangkap wajah cemas anaknya. "Mereka di dalam sana sedang berusaha, Linky, doakan saja yang terbaik."

"Pasti Amita akan selamat! Dia masih belum mengalahkan aku!" Ren yang tampak hendak mencairkan suasana ikut bersuara.

Dahi Theo berkerut bingung. "Mengalahkan apa?"

"Tentu saja mendapatkan Rak– argh! Kupingku! Sakit, hei!" Ren meringis sembari mengelus telinganya yang sedikit memerah. Merasa sedikit bersalah setelah melihat tatapan Theo yang seolah kesal dengan dirinya yang kurang lihai membaca suasana.

"Aku hanya tidak ingin kalian terlalu tegang," cicit Ren sembari menunduk, dalam hati turut menyesali perbuatannya.

Keheningan kemudian akhirnya datang menyergap mereka. Di antara enam orang itu, dua di antaranya sama sekali tidak bicara. Raka dan Dewa masih tutup mulut, tidak berniat untuk sekadar memecah keheningan itu.

Ada sekitar lima belas menit setelah tidak ada perbincangan, pintu putih itu terbuka menampilkan wajah lega dokter dan dua suster yang sedari tadi bertugas.

"Nona Amita terlalu banyak kehilangan darah akibat benda tajam yang menusuknya dilepas, beruntung rumah sakit ini punya banyak persediaan darah yang sejenis dengan Nona Amita."

Wajah-wajah yang tadi khawatir, kini menjadi sedikit lega. Dewa berdiri menghampiri sang dokter. "Kapan sekiranya ia akan siuman?"

"Aku menambah dosis biusnya, kemungkinan ia akan sadar besok pagi, yang pasti masa kritisnya sudah lewat. Jangan terlalu memaksa dia untuk bergerak, takut jahitan di perutnya terbuka."

"Terima kasih banyak, Om Dokter! Kira-kira Amita akan menginap di sini berapa lama?" Ren ikut bertanya.

"Mungkin sekitar seminggu, aku bisa saja mengatur pemberian bius lagi nanti agar pasien bisa tetap tertidur tanpa harus merasakan sakit di perutnya. Nutrisi akan diberikan lewat suntikan nutrisi."

Sang dokter memberi isyarat agar dua suster di belakangnya bisa pergi tanpa dirinya. Usai dua wanita itu menghilang, dokter melihat satu per satu orang-orang di sekelilingnya.

"Prosedur ini perlu aku bicarakan dahulu, siapa keluarga yang bertanggung jawab atas Nona Amita?"

Raka baru saja hendak mengajukan diri, tetapi tangan ayah Lingling langsung menghentikan langkah lelaki itu. "Saya, Dokter, saya wali Amita."

"Baiklah, tolong ikut dengan saya sebentar. Kalian boleh masuk, diharap jangan membuat keributan di dalam."

Kemudian, dokter itu pergi bersama ayah Lingling. Ren, Theo, dan Lingling langsung memasuki ruangan Amita. Dewa dan Raka masih berdiri di luar ruangan itu.

Dewa melirik ke arah Raka, ada kesal yang sedari tadi ia pendam untuk remaja itu. Kala dilihatnya sepasang kaki itu hendak masuk, langsung dengan pedasnya lidah Dewa menyerang.

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang