31 : Selamat Tinggal dan Terima Kasih

32 11 0
                                    

"Ketika perpisahan tidak selalu berakhir buruk."

🕯️🕯️🕯️

"Mama? Mama masih hidup?"

Semua bergerak mundur ketika melihat wanita itu melangkah perlahan ke arah mereka, Raka turut menarik Ren agar berlari ke tempat di mana ayah Lingling berbaring. Tubuh pria itu sudah terlalu banyak kehilangan darah, sang putri secara perlahan terduduk di samping ayahnya.

"Ayah ...," panggil Lingling lirih.

Wajah pria itu sangat tergambar dengan jelas letihnya. Tangannya berusaha untuk meraih lengan sang putri. "Hiduplah d–dengan damai, Linky."

Amita bisa melihat bagaimana air mata meluncur bebas membasahi pipi Lingling. Gadis itu menangis tanpa suara sembari meremat tangan sang ayah.

"Kami berhasil mengeluarkan pelurunya, Tuan Gautama, tetapi darah yang keluar terlalu banyak, kita harus segera pergi ke rumah sakit." Salah satu ilmuwan berdiri memberi laporan kepada Gautama.

"Arul, kau ingin terus hidup atau tidak? Cepat buat keputusan."

Semua menoleh bingung ke arah Gautama, kalimat tadi bukanlah kalimat yang tepat untuk dilontarkan di situasi sekarang. Siapa yang ingin mati begitu saja?

"Kau pikir mengapa aku menolak vaksin yang Raskal berikan? Yang ... aku inginkan hanya ke–hidupan damai untuk a–nakku."

"Maka, aku akan berjanji membuat Lingling tetap hidup, kita harus fokus menyerang Subjek 2 saat ini, tidak ada waktu untuk kabur lagi. Kita tidak tahu sekuat apa wanita itu, semua harus ikut turun tangan."

Gautama berkata sembari menatap langsung ke arah Subjek 2 yang sudah tidak jauh jaraknya dari mereka. Langkah wanita berambut lurus sebahu itu terlihat santai, seolah tidak memiliki niat terselubung apa pun.

"Om, Ayahku harus segera–"

"Lingling, kita tidak bisa menyelamatkan semuanya, akan selalu ada yang dikorbankan."

Para ilmuwan yang paham dengan maksud Gautama masih mencoba menghentikan pendarahan dengan perban dan sobekan kain. Aksi itu seolah tidak ada gunanya, netra Arul kian sayu menunggu beberapa saat untuk tertutup sempurna.

"Lingling, berjanjilah pada Ayah untuk menang. Dewa ... aku titip anakk–"

"SEMUANYA MIINGGIR!" Gautama berteriak ketika melihat Subjek 2 yang tiba-tiba berlari ke arah mereka.

Semua menurut pada ucapan Gautama, Dewa dengan cepat menarik Lingling agar menjauh. Amita lagi-lagi harus menahan perih sembari merangkul bahu Raskal.

Wanita dengan wajah tanpa ekspresi itu mendekat ke arah Arul. Mengeluarkan sebilah pisau dan dengan cepat menghunus bahu Arul Adian.

"AYAH!"

Dewa menarik lengan Lingling, menghentikan gadis itu agar tidak mendekat ke arah Arul Adian yang kini sudah benar-benar kehilangan napasnya. Wanita dengan panggilan Subjek 2 itu masih memandang korbannya tanpa ekspresi.

"Aku tidak diberi perintah untuk membunuhmu, tetapi aku hanya ingin melepasmu dari rasa sakit."

"DASAR KAU, KEPARAT! AKAN KUBUNUH KAU!" Lingling berteriak sekuat mungkin, makin kesetanan dan berusaha lepas dari cekalan Dewa.

Amita masih terdiam, entah sejak kapan kepalanya mulai merasa berat. Malam ini benar-benar mimpi buruk baginya. Sekilas, bisa ia lihat Ren terdiam di sana. Bisa ditebak kalau gadis itu tentu terkejut dengan kenyataan di depannya.

"Tuanmu sudah terbunuh, bekerjasamalah dengan kami, Subjek 2." Gautama berkata sembari menodongkan pistol ke arah Subjek 2.

"Berhenti menyebutnya Subjek 2! Dia ibuku! Kanata Inka, ibuku!" seru Ren dengan wajah frustrasi, gadis itu terlihat hendak mendekat ke arah wanita yang ia sebut sebagai ibu tadi.

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang