"Seimbang belum tentu adil."
🕯️🕯️🕯️
"Lho, bukannya yang sel kelamin jantan itu Arkegonium, ya?"
"Salah, Amita, yang sel kelamin jantan itu Anteridium."
Remaja-remaja itu masih terduduk di halte dekat sekolah mereka ketika matahari masih sudi mewarnai jingganya di langit. Minuman dingin di tangan mereka menjadi bukti bahwa panas masih saja menyengat meski malam sudah mau bertamu.
"Sial, otakku salah mengingat informasinya!" Amita masih dengan wajah tertekuknya mengeluh, beberapa saat kemudian terdiam untuk kembali mengingat soal-soal ujian mereka tadi.
"Kalau teori model atom seperti roti kismis itu teori dari Dalton, 'kan?"
Raka yang sedari tadi terus menerus menjadi sasaran pertanyaan Amita kembali menggeleng pelan. "Salah, itu teori Thomson."
Teriakan frustrasi terdengar dari mulut Amita. Lingling di sampingnya hanya memberikan senyum sembari mengarahkan kipas angin kecil miliknya ke arah Amita agar temannya itu bisa sedikit tenang. Dewa di ujung sana setia dengan buku pinjamannya dari perpustakaan.
"Kalau rumus molek–"
"Kalau pun jawabanmu salah atau benar sekali pun, tidak bisa lagi kau ubah, Amita."
"Akhirnya kau bicara juga."
Dewa yang tadi memotong ucapan Amita langsung menoleh dengan dahi mengerut. Tampak kurang mengerti mengapa Amita berkata seperti tadi.
Usut punya usut, Amita memang hanya sekadar memancing. Dirinya paham betul bagaimana cara mudah memancing emosi Dewa, contohnya seperti tadi, memusingkan hal yang sudah berlalu.
Namun, poin pentingnya bukan itu, Dewa yang memang selalu bersikap seperti patung, menjadi bukan seperti patung lagi, tetapi memang menjadi patung. Kalimat tadi bahkan kalimat pertama yang Amita dengar dari Dewa hari ini.
"Yo, sore! Kalian belum pulang?"
Sebuah suara mengalihkan atensi empat remaja itu. Tidak jauh dari mereka, Ren dan Theo melangkah mendekat. Wajah keduanya tampak tenang, berbeda dengan Amita yang akan selalu tertekuk usai mengerjakan soal ujian.
"Kak Ren dengan Theo belum pulang juga? Kalian mengapa bisa bersama?" Amita berbicara senatural mungkin, mencoba tidak terlihat cemburu ketika tahu bahwa tambatan hatinya pulang bersama dengan gadis lain.
"Ow ow, Amita-girl, santai saja. Aku dan Theo hanya pulang bersama karena rumah kami searah, lagi pula nama Raka-babe masih berdiri kokoh di dalam sini." Ren menunjuk ke arah dadanya sembari melempar kedipan ke arah Raka.
"Kurasa ujian Lingling dan Dewa pasti lancar, kalian sering menjadi omongan guru, Raka juga pasti lancar, bagaimana denganmu, Amita?" Ren berkata sembari mengambil tempat di samping Raka, lelaki yang tiba-tiba didekati itu hendak bergerak menjauh, tetapi lengan Ren langsung memiting lehernya.
"Yah ... sekarang aku hanya bisa berharap agar tidak remedial, kalian sendiri bagaimana?" Amita bergantian menatap ke arah Ren dan Theo.
"Bakat menyontekku jangan diragukan, bakat itu akan kugunakan di ujian dua minggu ini! Kalian seharusnya bersyukur hanya seminggu, tidak seperti murid tahun kedua dan ketiga!"
Theo yang baru saja ingin bicara, langsung disela oleh Ren. "Kalau Theo-boy, dia cukup pintar, aku mengenal bocah ini sejak kecil."
Theo yang namanya disebut hanya menggeleng pelan. "Aku rata-rata, soal ujian hari ini cukup sulit, tetapi tidak ada gunanya dipusingkan juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kabisat
Fiksi IlmiahDunia berbalut naif selalu dengan tegas berkata, "Yang tenggelam akan bisa jaya di daratan jika mereka bekerja keras." Padahal, sisi munafik mereka berbisik, "Yang tenggelam harus berusaha keras, tetapi yang sudah di daratan akan selalu lebih maju."...