05 : Nostalgia Katanya

28 12 0
                                    

"Kata orang, memancing adalah seni menunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kata orang, memancing adalah seni menunggu. Nyatanya, tidak ada ikan yang sudi menunggu kematiannya."

🕯️🕯️🕯️

"Kakak kelasmu terlihat sangat mencintaimu, Raka."

"Dia kakak kelasmu juga, bodoh!"

Menghiraukan Raka dan Dewa yang tengah berbisik, Amita kini berusaha untuk menahan tawanya. Di tengah pelajaran Kimia seperti ini, jendela kelas yang tepat berada di sampingnya justru menampilkan wajah Ren.

Bergaya bak model, mengirimkan ciuman jarak jauh, membuat wajah aneh dan konyol yang mampu membuat Amita rela menutup rapat mulutnya jika tidak ingin dikeluarkan di tengah pelajaran.

"Kanata Ren, jangan mengganggu adik kelasmu! Kembali ke kelasmu, jam istirahat masih–"

"Selamat siang, jam istirahat sudah dimulai. Semoga hari kalian menyenangkan. Salam dari saya, Kaliesa selaku kepala penyiaran radio sekolah. Bagi murid yang mempunyai rekomendasi lagu ...."

Suara yang dianggap sebagai bel berakhirnya sesi pembelajaran di jam tertentu itu menjadi tak tersampaikan dengan lengkap di telinga Amita akibat dari teriakan kegirangan dari teman-teman sekelasnya. Guru Kimia mereka hanya menatap sinis ke arah Ren sebelum akhirnya bersiap keluar dari kelas.

"Ingin makan siang di kantin?" Dewa berkata sembari berdiri, bersiap untuk meninggalkan kelas.

"Amita membuatkan bekal untuk kita," kata Raka lalu menarik tangan Dewa untuk duduk kembali.

"Berterimakasihlah kepada Raka, jika saja–"

"Ayo, makan, tidakkah perut kalian lapar?" Raka memotong ucapan Amita, mencoba untuk mencegah peperangan dalam bentuk apa pun itu.

"Aku akan membayarmu untuk itu, Amita. Makananmu ... lumayan enak."

Amita yang mendengar langsung tersenyum miring sembari mengangkat alisnya. "Pertama kalinya aku mendapat pujian, haruskah ini masuk ke dalam rekor muri?"

"Halo–"

Amita yang mendengar suara Ren langsung menoleh ke arah pintu kelas, didapati olehnya kakak kelas tersebut kini tengah jatuh dengan bokong mencium lantai. Tidak jauh dari sana Lingling terlihat meringis sembari memegang dahinya.

"Waw, aku menabrak gadis imut!"

"Ma–maaf, aku tidak se–"

Lingling tidak menyelesaikan kalimatnya kala Ren terlihat sibuk memainkan rambut berkepang duanya. Wajah gadis itu terlihat sekali tidak nyaman, tetapi terlampau takut hanya untuk sekadar menegur.

"Bantu dia, kurasa untuk bicara pun dia tidak akan berani," kata Dewa di sela suapannya.

Raka dan Amita menghampiri dua gadis yang masih terduduk di lantai kelas itu. Dilihat dari dekat, Lingling terlihat kian ketakutan dengan Ren, ditambah dengan atensi dari sisa murid yang memilih untuk menghabiskan jam istirahat di kelas.

Dua Kabisat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang