"Kaya dan sejahtera seolah menjadi syarat tak tertulis untuk bisa terus hidup."
🕯️🕯️🕯️
"Kau yakin mereka akan memberi tahu kita di mana keberadaan Amita?"
"Untuk itulah aku membawa racun ini sebagai ancaman."
Malam sudah larut ketika Raka dan Dewa sampai pada sebuah perumahan elit. Keduanya sudah berdiri di sebuah rumah tiga tingkat dengan nuansa Eropa abad pertengahan. Tiap pemilik netra yang memandang pun pasti akan langsung merasakan kemewahan yang menguar meski bangunan tersebut bisa dibilang punya interior yang sedikit kuno.
"Tidak usah berpura-pura terkagum, aku bukan Amita yang mudah kau tipu, Raka."
Sindiran Dewa hanya Raka balas dengan lirikan sinis sebelum akhirnya melangkah terlebih dahulu untuk mencari cara bagaimana melewati pagar rumah itu. Raka pikir jalan terakhir mereka adalah kembali memanjat pagar, seperti sebelumnya. Namun, baru saja kakinya hendak mencari pijakan, Dewa langsung menghentikan.
"Banyak kamera di sini," bisik Dewa.
"Apa kau punya cara lain untuk melewati pagar ini?" Raka bertanya dengan nada sedikit kesal, Amita yang sekarang entah berada di mana belum tentu masih bernapas ketika mereka bertemu lagi nanti.
"Aku melihatmu melawan Raskal hari itu, kuharap kau bisa mengeluarkan yang lebih dari itu sekarang."
"Maksudmu?"
Dewa memperhatikan tubuh Raka sekilas. "Sepertinya kau tidak akan bisa."
Raka mengernyitkan dahinya. "Apa maksudmu sebenarnya?"
Belum sempat Raka mendapatkan jawaban, Dewa langsung merapat ke sebuah tembok di samping pagar. Melompat lalu menghilang di balik tembok. Raka yang langsung sadar dengan aksi Dewa akhirnya mengekor, melakukan hal yang sama sampai keduanya kini sudah berada di halaman super luas rumah tersebut.
"Sekarang kita harus apa?" Raka berbisik seolah merasa akan ada yang mendengar perbincangan mereka jika suaranya keluar dengan volume keras.
"Cari batu, atau benda apa pun untuk melempar pintu itu."
"Un–"
"Jangan banyak bertanya! Amita dan Kak Ren sekarang menjadi prioritas kita."
Sedikit kesal karena omongannya dipotong, ditambah diberi perintah tidak jelas, Raka akhirnya menurut. Beberapa batu ia lemparkan ke arah Dewa, kalau mereka sedang tidak dalam suasana genting seperti sekarang, sudah tentu batu itu akan sengaja ia lempar asal dan berakhir mengenai Dewa.
"Kau sebenarnya sedang apa, sih?" Raka yang jaraknya sedikit jauh dari Dewa hanya memandang aneh ke arah temannya itu. Tiap batu yang ia lemparkan pada Dewa, langsung dilempar ke arah pintu dan kaca rumah itu.
Ketika sampai pada batu ke tujuh, salah satu jendela akhirnya menemukan kemalangannya. Pecah begitu saja, bunyinya cukup memekak, bahkan Raka pikir bisa saja ada tetangga yang terbangun.
"Kau sebenarnya sedang apa?" tanya Raka sembari mendekat ke arah Dewa.
"Lihat saja nanti."
Beberapa detik usai Dewa menjawab, terdengar suara kunci pintu yang diputar. Pintu putih itu terbuka bersamaan dengan keluarnya dua orang. Target mereka, Antarika Ambarta dan Antarika Areksa. Ibu dan anak gadis itu keluar dengan wajah kesal bercampur mengantuk.
"Ada apa ini– oh, mengapa murid di tempatku mengajar datang selarut ini? Apa pancingan mereka sudah mendapatkan hasilnya?"
Raka yang mendengar hanya bisa terdiam, tidak mengerti ke arah mana pembicaraan sedang berlangsung. Dilihatnya bagaimana Dewa tersenyum miring, seolah menantang tanpa ada rasa takut sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kabisat
Science FictionDunia berbalut naif selalu dengan tegas berkata, "Yang tenggelam akan bisa jaya di daratan jika mereka bekerja keras." Padahal, sisi munafik mereka berbisik, "Yang tenggelam harus berusaha keras, tetapi yang sudah di daratan akan selalu lebih maju."...