Di tempat lain, Jimin kini baru saja sampai dan membuka toko milik Namjoon. Memastikan semuanya telah berada dalam posisi, laki-laki itu tidak lupa membuat segelas kopi dan menyapa sang bos yang kini tengah asik mengurus pekerjaannya di balik layar laptop.
"Hyung, kopi mu."
Namjoon melirik, dia tersenyum manis menerima kopi yang sudah Jimin buat. Menutup layar laptopnya, Namjoon bangkit dengan meraih sekotak rokok yang ada di atas meja ruangannya.
"Ah aku sedikit pusing, bagaimana pemasukan minimarket ini yang kian hari kian sepi." Keluh Namjoon, yang mengusap wajahnya kasar dengan keadaan yang tengah terjadi.
Bukan sebagai karyawan, Jimin duduk sebagai orang yang telah mengenal sosok Namjoon cukup lama. Dia turut merasa sedih, terlebih keadaan mengatakan jika kehidupan Jimin juga bergantung pada toko milik Namjoon.
"Hyung perlukah kita buat diskon? Atau apa saja yang menarik perhatian pembeli."
Namjoon berpikir sejenak, itu bukan ide buruk. Namun jika produk yang ada di minimarketnya menjadi bahan diskon, mungkin beberapa harga juga keuntungan yang dia miliki kembali berkurang.
Menimang-nimang saran Jimin, raut wajah lelah itu terlihat begitu memperihatinkan. Dia sadar betul, jika persaingan di tengah ibu kota begini tidak lah mudah.
"Hyung, biarlah gaji ku bulan ini tak perlu kau bayar. Pikirkan soal masalah keuangan toko yang ada, jika sudah kembali normal baru bicarakan soal ini lagi padaku."
"Jimin, jangan lakukan itu. Kau bekerja di sini, begitu juga Hyungsik. Kalian membutuhkan uang, karena itu kalian bekerja padaku."
"Itu benar, aku paham. Tapi akan jadi seperti apa keadaan toko ini bila kau terus memaksa memberikan kamu gaji?"
Namjoon tersenyum miris. Bukan ini yang dia mau, namun keadaan membawanya sampai pada titik yang paling Namjoon takutkan. Melihat Jimin yang sudah seperti adiknya sendiri, belum lagi Hyungsik yang kini menjadi tanggung jawab Namjoon.
"Hyung, aku dan Hyungsik Hyung akan mengerti. Kamu akan jauh lebih sedih, jika toko mu tutup begitu saja tanpa perjuangan." Sambung Jimin lagi.
Namjoon menepuk bahu Jimin lembut berulang kali. Seolah memberi kekuatan, meskipun Namjoon sadar dirinya jauh lebih butuh penguat.
"Hyungsik, dia sedang membutuhkan banyak biaya untuk ibunya yang sakit. Jangan lukai diri kalian sendiri, pergilah dan cari pekerjaan lain saja." Jawab Namjoon.
Jimin menepis usapan lengan Namjoon pada bahunya. Matanya memicing tajam, menyoroti sosok Namjoon dengan raut wajah yang begitu kacau.
"Hyungsik Hyung akan mengerti, justru kami akan begitu kecewa jika kau hanya diam dan pasrah begini."
"Bagaimana obat-obatan ibunya kalau begitu? Kau bisa memberikannya?" Tanya Namjoon.
Dia ingin mencoba, namun tidak egois dengan mengorbankan wanita paruh baya yang tengah memperjuangkan hidup dan matinya. Hyungsik mungkin akan segan, dia tak berani memberontak jika Namjoon mengambil keputusan sesuai seperti saran Jimin.
Namun tetap saja Namjoon tak tega. Dia menunduk dalam, memikirkan cara lain namun entah apa yang bisa dia lakukan. Lagi-lagi lengan Jimin menggenggam bahu Namjoon, usapan juga tepukan itu seolah memberi semangat juga kekuatan.
"Lakukanlah Hyung, hanya hingga keadaan kembali stabil. Tidak apa, sungguh aku dan Hyungsik Hyung baik-baik saja."
"Akan aku bicarakan pada Hyungsik terlebih dahulu."
Jimin hanya menjawab dengan senyuman. Semoga cara ini bisa mengembalikan kekuatan toko yang Namjoon kelola, bagaimana pun juga Jimin bergantung di dalam sana.
Hari mulai petang, entah apa yang kini Mona lakukan di sebuah salon ternama kota besar itu. Memilah make up, hingga baju yang akan dia pakai di acara makan malam bersama sang suami.
Sesekali ponselnya berdering, namun Mona abai karena tidak ingin di ganggu dalam bersiap-siap di momen yang amat spesial ini.
"Nyonya, sejak tadi seseorang terus menelpon anda."
"Biarkan saja." Ucap wanita itu.
"Nyonya, tapi ini suami mu." Pelayan salon tadi kembali menegaskan, membuat Mona menoleh sejenak dan meraih ponsel di tangan wanita tersebut.
Melihat jika suaminya menelpon, ukuran senyum manis tergambar kala Mona mendekatkan ponsel tadi ke arah telinganya.
"Hallo, sayang?"
"Yoongi menjemputmu, bersiaplah." Ucap Jungkook, di sebrang sana.
"Lalu bagaimana mobilku? Ku masih di salon, aku datang sendiri karena paman Donghyuk sedang mengurus sesuatu." Ucap Mona.
Suara itu hening sejenak. Mona yakin jika kini Jungkook tengah berpikir apa yang akan dia lakukan.
"Sayang?"
"Tinggalkan saja, berikan kuncinya pada orang salon dan minta antar kan itu ke rumah. Berikan sedikit uang, tunggu Yoongi menjemputmu."
"Baiklah, i love you babe."
"You too."
Tertutup sudah telpon sang suami. Mona kembali melanjutkan kegiatannya, kini sedikit terlihat lebih cepat, wanita itu mengatakan jika seseorang akan datang untuk datang menjemputnya.
Para staf salon yang ada itu mulai bergerak lebih cepat. Mona hanya menurut, kali ini sudah tidak ada waktu lebih untuk sekedar berdebat. Dia memakai apapun saran yang pihak salon tawarkan, Mona juga menitipkan mobilnya yang terparkir apik tepat di pekarangan salon itu.
Di tempat lain, Jungkook memasuki kamar hotel tempatnya semalam terlelap bersama Taehyung.
Para pengurus acara anniversary ultah pernikahan Jungkook tengah membuat dekorasi ulang yang terkesan mewah, bunga-bunga yang sudah berserakan itu sontak kembali tertata dengan rapi dan benar.
"Pekerja ku, dimana dia?" Tanya Jungkook, yang kini menanyakan keberadaan Taehyung.
Hoseok yang sejak tadi mengikuti kemana Jungkook melangkah hanya diam. Matanya melirik, mencari keberadaan Taehyung yang sengaja Jungkook tinggal dan menunggu di dalam kamar ini.
"Hey, kalian dengar atau tidak?" Tegur Hoseok, kala melihat staf dekorasi itu hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan tuannya.
"Dengar Tuan, Tuan Taehyung berada di dalam toilet." Ucap salah seorang dari pekerja yang tengah merapihkan dekorasi itu.
Terdiam sejenak, Jungkook berpikir apa yang laki-laki itu perbuat. Menatap ke arah Hoseok dengan bergantian menatap satu persatu setiap orang yang juga ada di ruangan tersebut sebelum dia berpikir untuk melakukan sesuatu.
TBC.
Double up ya, hutang aku di Minggu kemarin. Selamat membaca😘🥰💖🎉
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Addiction.
Fanfictionmenjadi orang miskin memang tidaklah mudah. harkat martabat, juga kehormatan manusia seperti Taehyung memang selalu menjadi pertaruhan oleh orang-orang besar di atas sana. namun bisakah dia sebut ini sebuah candu yang hebat? bagaimana dia mewajarkan...