An Art Gallery/. 10

39 5 0
                                    

••

Apartemen itu memiliki 2 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Ruang tamu kecil, dan dapur kecil. Ada balkon yang memperlihatkan pemandangan yang sangat bagus dari atas sana.

"Ini lantai tiga, tapi kok bisa secantik ini ya pemandangannya, Kak?" Nadin berjalan menuju balkon.

Neira tersenyum. Sejujurnya ia juga tidak tahu, ia memilih ruangan ini karena tidak terlalu di atas.

"Oh iya Nad, Kakak udah baca semua e-mail kamu... Udah mendaftar kuliah, ya?" tanya Neira. Nadin mengangguk.

Neira terlihat sangat antusias, "Waahhh!! Selamat ya! Kapan pengumumannya?"

"Satu bulan lagi, Kak."

"Cieeee, selamat yaaa! Kayaknya Naddie bakalan jadi anak senja atau anak Indie nih, kamu pilih sastra, kan?"

Nadin tersenyum malu. Mengangguk. "Iya, Kak."

"Oh iya, siapa sih cowo yang mau kamu kenalin ke Kakak itu? Kakak udah baca e-mail kamu. Kamu seminggu terakhir bahas dia terus," Neira tersenyum menggoda.

Nadin menunggu ini. Ia tak sabar menceritakan ini ke Kakaknya. "Jadi, Nadin kenal sama dia itu waktu di Galeri Seni..."

"Aku cuma lihat-lihat lukisan aja, tapi tiba-tiba dia datang di belakang aku, ngomong sesuatu. Awalnya aku anggap dia cuma cowo aneh yang tiba-tiba datang gitu aja, tapi semenit berikutnya aku kagum banget sama dia. Ketemu sama dia, aku bisa rasain ada sesuatu yang nggak pernah aku rasain dalam hidupku, Kak."

"Dia seakan-akan ditakdirkan datang untuk mengubah sesuatu dalam diri aku yang sampai saat ini aku belum tahu itu sendiri apa. Namanya, Aqiel. Mungkin Kakak kenal atau pernah dengar?"

Neira berpikir sejenak. "Kakak kenal orang dengan nama Aqiel. Tapi pasti beda sama yang kamu maksud."

"Iya juga, sih."

"Kalau Nevy Aqiel Khaezure, Kakak kenal nggak?"

Neira terdiam. "Itu orang yang kamu maksud, Nad?"

Nadin mengangguk mantap. Kali ini Neira terdiam. Benar-benar terdiam, tak bisa berkata-kata.

"Kenapa? Kakak nggak percaya ya, sama aku?" Nadin terkekeh pelan.

Neira tersenyum paksa. Bukannya tak percaya karena Aqiel adalah seniman terkenal, tapi karena ada sesuatu.

Nadin terkekeh melihat ekspresi Neira yang terbungkam. "Kenapa? Kakak masih nggak percaya, ya? Foto yang aku kirim itu, dia Kak! Aqiel!" ucap Nadin sangat bersemangat.

"Kakak percaya, kok. Kakak senang akhirnya kamu punya Idola," Neira tersenyum tipis.

Nadin berpikir sejenak. Ia tak pernah menganggap Aqiel adalah Idolanya, justru ia merasa lebih spesial dari itu. "Bener juga sih, tapi aku nggak pernah jadiin Aqiel sebagai Idola aku, Kak," raut wajah Nadin tiba-tiba berubah.

Senyum di wajah Neira pun perlahan memudar, "Kenapa Nad? Kakak salah ngomong ya?"

Nadin menggeleng pelan, "Nggak Kak. Ini... Ini... Ini yang aku rasain. Aku ngerasa aku spesial buat Aqiel," Nadin menatap Neira. Neira tak mengerti tatapan itu, seperti Nadin membutuhkan sesuatu untuk dijelaskan.

"Kakak pernah jatuh cinta?"

Neira terdiam sejenak. "Setiap orang pasti pernah, Nad."

Nadin menunduk. "Apa salah kalau aku ngerasa spesial kalau dekat sama Aqiel, Kak? Aku tau, Aqiel memang seseorang yang terkenal, aku nggak seharusnya merasa spesial."

Neira mengelus pundak Adiknya, "Nad, kamu baru sampai. Nanti aja bahas itu ya, mendingan kita nikmati aja deh, waktu kita sekarang."

Nadin mendongak menatap Kakaknya. Benar yang dikatakan Neira, ia seharusnya banyak menghabiskan waktu dengan Kakaknya.

Nadin mengangguk pelan. Neira tersenyum, ia tak tahu akan menjawab apa jika membahas Aqiel.

Hari pertama dihabiskan Neira dan Nadin berkeliling pusat Kota. Neira sempat mengajak Nadin ke rumah sakit tempatnya bekerja. Neira menceritakan lika-likunya menjadi seorang Dokter. Nadin hanya menyimak, ia tak tertarik apapun tentang dunia kedokteran Kakaknya, meskipun sebenarnya itu adalah pekerjaan mulia.

Malamnya, Nadin di ajak pergi ke salah satu Galeri kesenian. Suasana kota malam hari sangat mendukung perjalanan mereka, Nadin juga sempat melihat karya Aqiel yang terpajang di Galeri itu. Sebenarnya, ia ingin sekali menceritakan tentang Aqiel kepada Kakaknya, tapi waktunya bersama Kakaknya lebih baik dari pada membahas yang lain.

Keduanya kembali ke apartemen Neira pukul sepuluh malam. Perut sudah terisi kenyang, badan pun sudah lemas tak sabar ingin merebahkan diri di kasur. Nadin dan Neira bersih-bersih lalu bersiap tidur.

Neira melihat Nadin yang sedang melihat langit, gadis itu bahkan tak berkedip melihat terangnya cahaya rembulan malam ini. Neira menghampiri Adiknya.

"Nad," panggil Neira sambil menepuk pundak Nadin. Gadis itu sontak terkejut.

"Eh, Kak?" Nadin salah tingkah.

"Kamu kenapa? Kok di sini sendirian?"

Nadin menggeleng pelan, "Aku nggak papa kok."

"Ada yang mau kamu ceritain ke Kakak nggak, Nad?"

Nadin terdiam. Apa maksud Neira adalah membahas Aqiel? Atau mungkin hal lain.

"Nad?"

Lamunan Nadin terbuyar, "Eh, i-iya Kak. Kita cerita-cerita di sofa ruang tamu aja, biar lebih santai."

Neira mengangguk setuju. Keduanya duduk di sofa. Nadin siap bercerita.

"Nadin langsung aja ya, Kak." Neira mengangguk, mempersilahkan Nadin untuk memulai ceritanya.

"Jujur aja, Aku nggak pernah tahu perasaan ini sebelumnya. Aku nyaman, aku tenang, aku senang, bisa rasain hal-hal baik masuk ke dalam diriku karena Dia..."

Nadin menghela napas panjang. Neira bertambah serius mendengarkan.

"Aku nggak mau ngerasa aku spesial, tapi nggak tahu kenapa setiap ada di dekat dia, bareng dia, lihat dia. Semuanya seakan membuat aku selalu merasa spesial. Aku bahkan nggak tahu, kenapa aku bisa kayak gini. Aku mau normal aja, tapi susah. Cara dia bicara, perlakuannya ke aku, semuanya kayak ngajak aku buat merasa spesial kalau lagi bareng sama dia, Kak."

Neira terdiam. "Aqiel?"

Nadin menatap Neira. Lalu mengangguk pelan.

"Kamu sering ketemu sama Aqiel, Nad?"

Nadin mengangguk.

"Dokter Neira, saya bisa pulang kembali ke rumah saya kan, Dok? Kita bisa terapi minggu depan saja?" tanya seorang laki-laki. Raut wajahnya tampak sangat serius.

"Maaf, tapi ada kepentingan apa? Kamu harus sering terapi dan konsultasi. Kondisi kamu belum memungkinkan untuk banyak beraktivitas," jawab Neira cemas.

Laki-laki itu menunduk, "Ada kepentingan yang lebih penting dari sesuatu yang seharusnya hanya penting, Dok."

Neira mengerutkan dahi, "Kamu sudah saya izinkan untuk kembali berkarya, kamu juga sudah bisa menghabiskan banyak waktu dengan aktivitasmu seperti biasa, apa itu kurang untuk kamu?"

"Saya harus bisa kembali ke rumah saya, Dok. Mungkin setelah ini saya bisa mendapatkan kebahagiaan saya."

Neira bertambah bingung. "Baik. Saya berikan waktu satu minggu, setelah itu kamu harus kembali terapi dan konsultasi dengan jadwal seperti biasa. Terapi ini tidak baik jika kamu sepelekan," Neira menggeleng pelan.

"Iya, Dok."

••
//To Be Continued...

rain
10/12/22

An Art Gallery [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang