An Art Gallery/. 18

33 3 1
                                    

••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

••

"Aku udah nggak bisa lanjutkan semuanya, Nad..." Aqiel menunduk lemah.

Nadin berpindah, ia duduk di samping Aqiel. Satu tangannya menggenggam tangan Aqiel, satunya lagi menangkup wajah Aqiel. Nadin menatap Aqiel lamat-lamat.

"Qiel... Kamu kuat. Kamu... Kuat..."

Aqiel menggeleng lemah, "Nggak, Nad."

"Kamu kuat,Aqiel! Kenapa kamu selalu semangati aku, kenapa nggak semangati diri kamu sendiri dulu? Kenapa?!"

Aqiel menunduk. Ia tak sanggup menatap Nadin.

Nadin melepaskan genggaman tangannya dan tangkupan tangannya di wajah Aqiel.

"Makasih buat lukisan itu, Qiel. Aku senang, tapi aku kecewa juga..."

Indah dan Ael menguping pembicaraan Aqiel dengan Nadin dari tangga, tak berani menghampiri keduanya. Indah tak ingin mengganggu keduanya.

"Maaf..."

Hati Nadin terasa sesak mendengar kata itu.

"Aku akan pulang sekarang. Aku nggak mau ganggu kamu, Nad..."

Nadin tak merespon apa-apa. Ia hanya diam.

"Boleh besok siang kita bertemu?" Aqiel bertanya pelan.

Nadin mengangguk.

"Aku pulang ya, Nad..."

Nadin melihat punggung Aqiel yang perlahan mulai menjauh. Indah dan Ael ikut kecewa melihatnya.

Aqiel ternyata meninggalkan sepucuk surat yang dimasukkan ke dalam amplop. Itu adalah surat untuk Nadin. Nadin mengambil amplop itu, membukanya. Nadin membaca kata demi kata surat yang Aqiel tulis.

Sejak usiaku 15 tahun, aku punya penyakit jantung. Saat itu pendaftaran masuk SMA. Bunda, Ayah dan Abang pikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa tetap semangat walaupun dengan penyakit yang ku derita.

Ayah dan Bunda setuju menyekolahkan ku di SMA terbaik di daerah kami. Berbulan-bulan aku sekolah di sana, juga sambil terapi dan konsultasi sama dokter-dokter ahli kepercayaan Ayah. Tapi waktu itu, Kakakmu Neira masih praktik.

Waktu itu, di mana Bunda yang menemani aku untuk konsultasi. Dokternya mengatakan kalau hidupku tidak akan bertahan lama karena penyakitku ini. Bunda syok, sedangkan aku memikirkan, bagaimana caranya supaya aku bisa tetap hidup walaupun nanti jiwa dan raga ku sudah tiada. Dan di situ lah, aku menemukan seni dalam hidupku.

Aku mencoba melukis, menulis dan kesenian lainnya yang buat aku tertarik. Tapi ternyata, semesta mengatakan bakatku ada di melukis. Dari itu, aku mulai melukis beberapa karya. Ternyata, salah satu teman Bunda yang juga adalah seorang desainer, menyukai karyaku.

An Art Gallery [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang