21|| Pamit

352 19 1
                                    

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Perlahan mata Silam mulai terbuka, ibu yang sedari sejak kejadian itu menemaninya langsung berdiri melihat putranya yang sudah siuman. Silam merasakan sakit disemua tubuhnya, bahkan ingin mengalihkan pandangannya kearah ibu sangatlah sulit.

"Bu... Silam dimana? "

Ibu menggenggam tangan Silam dengan lembut, "Dirumah sakit, sayang. Keadaan kamu sangat parah. "

Ingatan Silam akhirnya tertuju pada Sore itu, dimana Alam dan kedua temannya datang memukulnya habis-habisan. Dia kemudian beralih mencari Sandi.

"Sandi mana bu? "

Sandi yang tengah berada di sudut ruangan menghampiri Silam, "Kenapa, lam?"

Silam mencoba mengatur nafasnya, rasa sakit di perutnya sungguh sakit, "San... Jangan salahin Alam karena ini, yah? "

Sandi diam. Dia lalu beralih menatap ibu yang juga ikut menatapnya. Ibu sudah tau yang membuat putranya seperti ini adalah Alam, sandi yang menceritakan semuanya. Dia marah, tentu saja. Tidak ada ibu yang suka anaknya diperlakukan seperti itu oleh orang lain.

Ibu mengelus surai Silam dengan lembut, "Nanti ajah yah kita bicarain itu? Kamu istirahat ajah dulu. "

Silam tersenyum didalam alat bantu pernafasan itu, "Bu...apa Silam bisa bertahan lebih lama?"

Ibu menggeleng, "Jangan bilang gitu, kamu pasti sembuh. "

Silam beralih meraih tangan Sandi, "San, jaga ibu gw yah? Kalau gw pergi lebih dulu."

Sandi membalas genggaman anak itu, lalu menggeleng pelan, "Lo anak yang kuat, lam. Tenang ajah, gw bakal selalu ada buat lo! "

Silam tersenyum lalu mengangguk, "Makasih.. " ucapnya lirih.

Ibu mengecup dahi Silam cukup lama, lalu tersenyum di depan wajah putranya. Hatinya teriris melihat luka-luka lebam yang ada diwajah putranya itu. Didalam hati ibunya mengutuki Alam, putranya ini sudah terlalu banyak mengalami kesulitan, dimana hati nurani pemuda itu.

Tak lama dokter masuk kedalam ruangan, "Bu, saya mau bicara sebentar. "

Ibu mengangguk, "Baik dok! "

Dia menepuk pundak Sandi kemudian tersenyum, "Ibu titip Silam yah, San?"

Sandi mengangguk, kemudian saat ibu keluar dari ruangan dia kemudian duduk disamping Silam. Pemuda itu menatap alat pendeteksi detak jantung disebelah Silam, termenung menatap alat itu.

"Sampai kapan alat itu bisa bunyi, San? " tanya Silam dengan lemah.

Sandi mengalihkan pandangannya kearah Silam, "Gw nggak tau, lam. Tapi kalau boleh gw nggak ikhlas alat itu berhenti berbunyi."

Silam dengan keadaan sekarat masih bisa tertawa pelan, "kalau bunyinya, tuuuuuutttt.. Ukhuk! "

Sandi berdiri dari tempat duduknya saat mendengar Silam batuk, dia berdecak sebal saat melihat anak itu kembali tersenyum.

"Lo emeng bener-bener! Gw kaget! "

Silam sempat tertawa kecil kemudian dia dan sandi kemudian berdiam diri kembali. Sandi menatap langit yang sudah mulai mendung, pasti sebentar lagi akan hujan pikirnya.

Silam kembali berusaha menoleh kearah Sandi, "San, tolong jangan salahin Alam yah? "

Sandi menghela nafas berat, "Lo kenapa sih peduli banget sama bajingan itu? "

"Bajingan-bajingan gitu gw suka dia! "

Sandi menatap Silam cukup lama,"Tapi dia yang udah buat lo skarat gini! "

Before You Say Love [Markhyuck]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang