11화

23 8 0
                                    

Ji Ah memetik satu bunga mawar berwarna kuning kemerahan yang tumbuh di dekat kolam ikan. Ia tak ingin segera kembali ke kamar di saat ia sedang sedih. Tak mau merusak suasana Yoo Na yang tengah berbahagia dengan hubungan barunya. Ia tidak bisa menceritakan ini pada Yoo Na. Bagaimana pun Ji Ah tak mau Yoo Na kembali mengalah demi dirinya. Bisa-bisa ia menghancurkan kebahagiaan Yoo Na.

Ji Ah berjalan-jalan keliling sekitar istana utama yang jarang ia kunjungi. Ia hanya keluar dari kamar dan jalan-jalan di sekitar taman istana kamar tamu.

Kali ini ia berjalan tanpa arah. Ia tak tahu akan sampai di tempat apa. Ia hanya terus berjalan mengikuti koridor yang sepi dan gelap. Obor pun tak bisa menerangi jalanan yang ia lewati.

Ji Ah mencium wangi dari bunga mawar itu. Ia sedikit merasa tenang merasakannya. Bibirnya tertarik ke atas dan berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri.

Bila ia harus menjadi permaisuri yang kedua dan menjadi istri kesembilan, Ji Ah tak apa. Ia tidak mau merusak marga keluarga Han yang disandangnya.

"Sedang apa malam-malam kau di sini?"

Suara sapaan itu mengejutkan Ji Ah yang sedang memandangi mawarnya. Ia melirik sesosok makhluk yang tengah berdiri di depan pintu. Ji Ah tidak menyangka bahwa kakinya akan membawanya menemui pria yang tengah menikmati langit malam itu. Langkah Ji Ah terhenti dan mematung sejenak.

"Kutanya tapi kau hanya diam saja," ujar Gong Wook. Ia pun menghampiri Ji Ah. "Kau gila? Malam-malam keluar mengenakan pakaian tidur seperti ini?" Gong Wook menyampirkan mantel yang ia gunakan tadi.

Ji Ah menatap Gong Wook selagi pria itu memasangkan mantel di tubuhnya. Netra keduanya bertemu, membuat jantung tak berdetak beraturan. Keduanya salah tingkah. "Saya hanya ingin berjalan-jalan."

Gong Wook berdehem. "Semakin malam, semakin dingin. Jangan keluar dengan pakaian seperti itu."

Ji Ah mengangguk. Ia mengulum senyumnya. "Yang Mulia sedang apa? Kenapa Anda belum tidur?"

"Aku sedang merindukan ibuku."

Ji Ah mengangguk mendengarnya. "Kalau begitu, saya juga merindukan ibu saya."

Gong Wook merasa bersalah jika Ji Ah membahas lagi tentang ibunya. "Aku akan segera mengembalikanmu setelah urusanku selesai."

Ji Ah menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Yang Mulia."

Gong Wook memandang Ji Ah yang mengeratkan mantelnya. Gadis cantik yang tingginya hanya sebatas dadanya itu sudah berhasil menarik perhatiannya. Kalau boleh jujur, Gong Wook sekarang mulai menyukai gadis ini. Belum lagi, ia merasa bersalah karena sudah membawa anak seorang bangsawan ke istana ini tanpa izin. Anak ini pasti sedih karena jauh dari ibunya. Sama seperti dirinya.

"Ji Ah," panggilnya.

"Ya?" sahut gadis itu polos.

Gong Wook tersenyum hingga matanya hanya segaris. "Aku tak tahu, tapi aku ingin meminta maaf padamu."

Ji Ah tertawa kecil. "Saya tidak apa-apa."

Ada keheningan melanda keduanya. Ji Ah merasa hidungnya dihampiri sesuatu yang dingin dan basah. Kepalanya mendongkak melihat ke arah langit. Butiran putih itu berjatuhan dari langit pekat di atas sana. Ini hujan salju.

Salju pertama!

"Wah, salju turun!" pekik Ji Ah senang. Ia melompat kecil melihat salju yang berubah menjadi air di atas tanah.

Gong Wook terdiam memperhatikan aksi lucu Ji Ah di depannya.

Ji Ah menyadari bahwa ia tak sendiri, ia pun berhenti melompat. "Yang Mulia, Anda tahu? Kalau menyaksikan salju pertama turun bersama seseorang, maka mereka akan saling mencintai seumur hidup!" jelas Ji Ah dengan mata berbinar. Menyadari yang dikatakannya berlebihan, Ji Ah menetralkan air wajahnya kembali datar.

THRONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang