17. Need You Now

456 32 4
                                        

hyuckren




0





Musik keras menggema di penjuru ruang. Kepalanya terasa berat, mikrofon di tangannya pun sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya dia pegang tanpa ia gunakan. Kesadarannya sudah hilang separuh, menyisakan kesadaran yang tersisa, lelaki dengan busana hitam-hitam itu meraih jaket kulitnya di ujung sofa. Merogoh saku jaket tersebut mengambil ponselnya.

Kepala yang semula ia letakan di atas meja pun ia angkat dengan paksa. Tubuhnya kini melorot di sandaran sofa. Tangan kirinya masih memegang mikrofon dan tangan kanannya memegang ponsel. Ia melihat satu nama kontak di sana. Dengan pandangan yang mulai kabur, gambaran wajah si empu kontak tersebut tergaris jelas dalam memorinya. Ia menyimpulkan senyum. Antara begitu mendamba sosok dalam ingatannya dan kekehan setelah senyuman yang mencibir dirinya sendiri itu.

"Gue kangen..." lirih lelaki itu. Ia mendial kontak tersebut. Membiarkan dirinya sekali lagi tersambung dengan lelaki yang ia rindukan.

Tiga bulan lebih ia membiasakan diri tanpa sosok yang tak kunjung mengangkat telponnya, tiga bulan itu juga ia menjadi bukan dirinya.

"Maafin gue." Dia berujar sendiri.

Haechan tahu, yang dia lakukan salah. Salah sejak awal. Harusnya dia sadar bahwa Renjun tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang dia inginkan. Sejak awal keduanya sudah bersahabat baik dan perasaan lebih itu muncul begitu saja menguasai Haechan. Haechan jatuh hati pada Renjun, begitu saja tanpa ia sadari. Dia tidak mengatakannya pada Renjun. Tidak akan pernah mengatakannya. Dia tidak mau merusak hubungan yang ada di antara mereka.

Namun tiga bulan lalu sesuatu terjadi di antara mereka dan Haechan harus berbuat sesuatu demi menjaga hubungan mereka agar tetap baik-baik saja. Ia pergi ke luar kota, mendapatkan pekerjaan di sana dan menyibukan diri demi mengabaikan rasa yang ia dera. Ia benar-benar menginginkan Renjun kala itu. Kalau ia terus berada di dekat Renjun, ia tidak yakin embel-embel sahabat masih ada di antara mereka hingga kini.

Selama tiga bulan ia mencoba semampu yang ia bisa untuk tidak menghubungi Renjun kecuali lelaki itu duluan yang menghubunginya. Haechan menahan diri dengan baik hingga dia mulai terbiasa berada jauh dengan Renjun dan menahan perasaannya.

Ketika semuanya sudah mulai baik-baik saja, ia terbiasa dengan kesibukannya dan sedikit melupakan perasaannya Renjun menelpon Haechan beberapa hari yang lalu. Mengatakan dengan suara yang terdengar bahagia bahwa dia bertunangan dengan seseorang.

Di sinilah Haechan sekarang, kembali pulang. Entahlah rasanya ia ingin pulang. Bukan seharusnya dia pergi sejauh mungkin untuk melupakan rasa yang ada terhadap Renjun? Kenapa malah pulang?

Entahlah Haechan juga tidak tahu. Ia kembali ke kota asalnya. Mengabsen tiap tempat yang suka ia datangi dengan Renjun. Merasakan sensasi suasana yang hadir di sana. Rasanya sakit, perasaannya yang ia kubur dalam selama tiga bulan ini mencuat kembali. Perasaannya masih sama. Masih menginginkan Renjun lebih.

Tanpa sadar ibu jarinya kembali mendial nomer ponsel Renjun dan kali ini tak lama berselang suara tunggu telpon yang belum terhubung berubah menjadi suara parau khas bangun tidur yang ia rindukan.

"Ada apa?"

Kesadaran Haechan yang tinggal setengah pun mendadak meningkat. Ia membenarkan posisi duduknya, mengecilkan suara dari speaker besar di ruangan ini.

"Haechan?"

Dia belum juga bersuara menjawabi lawan bicaranya di telpon. Membiarkan dirinya mendengarkan apapun yang Renjun ucapkan meski hanya lewat telpon.

"Haechan kalo gak ngomong gue tutup ya..."

Mendengar itu dia terkesiap. "Jangan." Lirihnya tapi sayang Renjun tidak mendengar.

"Gue tutup ya?" Sekali lagi sahabatnya di ujung sana bertanya.

"Jangan Ren." Kali ini tak sebatas lirih. Ia bersuara lebih jelas.

"Ada apa Chan?" Suara di sebrang sana menyapa lebih jelas. "Kok berisik ya? Lo dimana?"

Padahal suara di speaker ruangan ini sudah Haechan kecilkan. Tapi sebuah lagu yang ia putar berulang kali itu masih jelas di telinganya, bahkan seorang di ujung telpon pun dapat mendengarnya.

Tak kunjung mendapat jawaban, suara Renjun kembali menyapa. "Lo lagi di luar? Udah jam 2 Haechan!" Hardik Renjun yang Haechan yakini sedikit kesal karena diganggu olehnya di dini hari ini.

Its a quarter after one I'm all alone and I need you now

Suara Shane Filan masih mengisi ruangan ini. Menyuarakan isi hati Haechan seutuhnya.

Said I wouldnt call but I lost all control and I need you now

And I dont know how I can do without I just need you now


"Haechan kalo gak ngomong beneran gue tutup nih." Cercah Renjun yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

Haechan tersenyum.

"Jangan Ren."

"Makanya ngomong. Kenapa?"

"Jangan ya..."

"Chan? Lo mabok ya?"

Haechan menggeleng, kemudian menundukkan kepalanya sejenak membenamkan senyumnya. Kemudian mengangkat kepalanya kembali.

"Haechan woi lo di mana? Gue pesenin taksi aja?" Haechan merindukan bawelnya Renjun yang selama tiga bulan ini tertahan karena Haechan sendiri yang memotong ketika Renjun menelpon dan mulai bicara banyak hal. Haechan merindukan Renjun yang mengomelinya kalau dia melakukan hal yang kurang baik pada dirinya sendiri.

"Lo tuh kenapa si? Lo di mana bilang gue pesenin taksi online aja yaaa.. sebutin lo lagi di mana pake baju apa biar abang taksinya nyamper lo ke situ."

Haechan tidak memberitahu Renjun kalau ia kembali. Apa mungkin kalau Renjun tahu dia berada di tempat yang suka mereka datangi untuk melepas penat kala hidup begitu sulit akan datang menjemputnya ke sini?

"Ren... gue baik-baik aja."

"Bohong Chan. Bilang gak lo dimana?! Kalo gak gue marah ya!"

"Marah ajaaaa... marahin gue."

"Chan gak lucu ah." Suara Renjun terdengar serius. "Ini jam dua malam. Lo gak ada nelpon gue duluan sejak lo di kota orang terus tiba-tiba begini. Lo di club gak sih? Atau tempat karaoke, kan? Bilang ke gue namanya apa dan lo di ruang mana. Lo mabok biar pulang pake taksi online ya."

Haechan terkekeh gemas. "Sahabat gue khawatir banget ya kayanya?"

"Chan kalo lo ngeprank gue gak lucu ya!"

"Its a quarter after one I'm little drunk and I need you now." Haechan mengumamkan lirik lagu yang berputar berulang sejak tadi.

"Gue khawatir Chan. Jangan ginilah. Bilang ke gue lo di mana... udah malem biar lo balik dengan selamat."

"Gue aman Ren. Sorry ya ganggu tidur lo."

Setelah mengatakan itu. Haechan memutus sambungan telpon mereka. Tak lama berselang ponselnya berdering dengan nama Renjun di layar ponselnya.

"Kenapa Ren?" Jawabnya enteng.

"Elo yang kenapa?!" Suara Renjun terdengar emosi.

"Gue bilang gue aman." Haechan menjawab tenang.

"Ck tiba-tiba ninggalin gue. Nyuekin gue. Sibuk terus. Gak balik-balik. Gue tuh kangen Haechan yang dulu, Haechan sahabat gue." Cercah Renjun begitu saja.

Mendengar yang Renjun katakan, dadanya menjadi sesak. Rasanya ingin menjerit. Dia makin tersiksa dengan rasa yang ia miliki untuk lelaki bernama Renjun itu.

"Udah malem Ren. Sorry ganggu lo ya." Kerja antara otak dan hatinya tak pernah sejalan, mulutnya melontar kalimat demikian. Sekali lagi sambungan telpon mereka berakhir.

Kali ini ponsel Haechan tak kembali bergetar, hanya bunyi beep menandakan pesan masuk untuknya.

From: Renjunnn

jangan gini dong chan. Gue beneran khawatir. Terserah deh lo mau nyuekin gue yang kaya apa juga bodo amat tapi jangan ginilah lo malem malem di kota orang mabok gue khawatir bego.

Bibirnya tertarik menguntai senyuman. Tetapi hatinya tetap sesak. Dia benar-benar tak ingin di antara keduanya hanya sebatas teman. Katakan saja Haechan egois. Tapi begitulah adanya. Dia menginginkan Renjun untuknya.


-end-


hi? halo? 

kalo ada yang baca ini, keep hyderated yaaa minum yang cukup cuacanya lagi serem. terus jangan lupa senyum! hehe

  





[bl] hrj.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang