Everything, all at once

281 48 5
                                    

w/n; parts written in all italic are flashbacks

Hari pertama ospek harusnya jadi hari paling nano-nano; gugup karna memulai lembar baru, deg-degan karna beberapa stigma ospek yang mungkin masih melekat di masyarakat, atau mungkin sedih karna pisah sama temen lama.

Dan yang paling penting adalah seneng karna berhasil masuk ke universitas. Apalagi kalau universitasnya universitas impian, jurusan sesuai keinginan.. it should be a day with head in the clouds.

Tapi yang Irish Natania rasakan hari itu cuma kesal dan setengah mati rasa.

Gimana engga.. di hari ketika Irish dianter ke kampus buat jalanin ospek, bersamaan dengan itu dia bertengkar hebat sama kakaknya, Marshall.

Tengkarin apa? Oh tentu saja hal yang sepele tapi berhasil mencoreng harga diri Irish.

Pertengkaran sepele tersebut nyatanya berhasil membuat wajah perempuan tersebut tertekuk sepanjang pembukaan. Kalau rektor kenal sama Irish, mungkin dia udah ditegur karna sepanjang kata pembukaan gak ada sama sekali ketawa ketawanya. Udahlah Irish gak ada kesan bahagia bahagianya sama sekali di hari pertama ospek.

Sampai pada satu waktu ketika seseorang berlanyard menarik seorang lelaki dengan sedikit menyeret.

"Gak dibaca ya buku pedomannya?"

'Baru juga hari pertama', batin Irish.

"Siapa nama kamu?"

"Abraham, Kak."

"Push up 10 kali."

"Bisa tolong jelasin salah saya di mana, Kak?"

Pertama kali di hari itu Irish mendongak menaruh perhatian. Ibarat film, scene ketika lelaki bernama Abraham mulai berdebat dengan kakak komdis jadi awal scene-scene seru.

"Bisa ya nanya gitu?" bentak si komdisㅡlaki-laki. "Cium baju lu sendiri. Masih berani nanya salah lu dimana?"

Yang diperintah malah balik menantang. "Ini bau rokok, Bang. Rokoknya udah saya matiin sebelum masuk gerbang."

"Oh berani ya balikin ucapan gua?!"

Hampir ditarik kuat-kuat kerah baju lelaki itu kalau Irishㅡdengan amarahnya terhadap Marshall yang masih berapi-apiㅡtidak angkat suara, di tengah hening.

"Interupsi kak. Menurut buku pedoman, ngerokok hanya dilarang jika dilakukan di area kampus saat ospek berlangsung. Dia udah matiin rokoknya sebelum masuk gerbang."

Sejatinya kakak komdis memang panitia dengan harga diri paling mahal seantero jagad raya. Lelaki yang tadi menarik kerah Abraham menoleh ke arah Irish dengan mata melirik sinis.

"Lu ceweknya? Berani maju sini. Cepet!"

"Ceweknya atau bukan, saya berhak menginterupsi jika sekiranya tidak setuju sama pendapat Kakak, sesuai buku pedoman."

Suasana mendadak rusuh. Barisan di sekitar Irish mendadak noleh; all eyes to her. Irish sendiri masih menatap lurus ke arah komdis tadi, sampe salah satu rekan sesama komdisnya menarik bahunya.

"Udah udah,"

Ada sepersekian detik momen ketika manik Irish dan lelaki bernama Abraham tadi bertemu sebelum Irish memalingkan wajah, dan Abraham kembali ke barisannya.

Tatapan yang diam-diam menyelinap ke kepalanya; ke ruang memori yang tersimpan apik.

Tatapan yang tetap familiar tapi tidak dengan namanya.

Abraham.. she should've memorized it.

She didn't.

Abraham thought his nightmare was when his parents cut his dream off.

Turns out it's just the start; when he stepped into the place he felt he didn't belong to, it feels like it's the peak.

"Ceweknya atau bukan, saya berhak menginterupsi jika sekiranya tidak setuju sama pendapat Kakak, sesuai buku pedoman."

Untuk pertama kalinya hari itu Abraham menatap lekat seseorang, yang kalimatnya berhasil membuat si komdis taluk. Gadis dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda dan papan nama besar di dada.

Gadis yang namanya dia nggak tauㅡtidak sebelum siang itu ketika si gadis berjalan tepat di depannya.

"Hey, sorry," Abraham memotong pembicaraan si gadis dengan temannya. Mungkin temen satu kelompoknya.

Si puan menoleh. Rambut hitamnya yang saat itu agak basah karna keringat terurai menutupi bahu. "Iya?"

"Makasih," ujar Abraham. "Buat yang kemaren."

Abraham sendiri ragu apakah gadis tersebut ingat, menilik dari kerut yang tiba-tiba muncul di antara kedua alisnya.

"Oh iya," sahutnya. "Gak masalah."

Abraham tersenyum simpul, lalu melirik papan nama milik si perempuan.

Irish Natania
Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran

Irish Natania.

Cantik.

"Kalo gitu gue duluan yaa," ucap gadis bernama Irish itu setelah jeda yang cukup panjang.

"Oke Irish."

Kemudian sesaat ketika gadis Natania itu berbalik, sebuah karet rambut hitam jatuh tepat di ujung sepatu Abraham.

"Eh, Irishㅡ"

Satu hal tentang karet rambut yang berakhir ia simpan sampai di hari ia mengikat karet tersebut secara langsung di rambut Irish Natania: it was the one who witnessed his journey of believing himself.

The journey of erasing his inferiority complex and reviving his identity before finally showing up in front of her.

It's the silent witness.

Diusapnya pelan scrunchie di genggaman oleh ibu jarinya. Dan hiruk-pikuk kampus serta suara lantang Callista kembali masuk ke indera.

Abe masih ada di sana dengan tatapan yang sama.

Lalu Abe dan Irish sama-sama senyum; one that feels like a greeting for the first time; only the feeling is different.

Kemudian sekeliling yang bergerak dalam blur seketika meledak seperti kaca yang pecah ketika Abe secepat kilat menutup hidungnya.

Cairan merah segar. Abe nunduk. Huru-hara tim medis.

Everything explodes at the same freaking time.

melting ice | sunghoon gaeulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang