Pagi itu, Jay kebangun oleh suara grasak-grusuk di kamar kostnya.
Buka mata dan pelan-pelan mendudukkan diri, yang pertama dia tangkep oleh inderanya adalah Abe dan kemeja hitamnya yang semerbak wangi parfum laundryㅡsomething that smells like homestay laundry scent.
Abe melirik sekilas sambil membetulkan kerah kemejanya. "Good morning Jayandra Giovanni, my bro."
"Nyubuh banget," gumam Jay setengah sadar. Si beliau ini sekarang duduk di kasur dengan posisi bersandar ke dinding. "Emang lombanya jam berapa?"
"Jam sembilan pembukaannya. Pinjem sisir dong," Abe ngubek-ngubek rak di sebelah lemari tempat dia ngaca. "Jangan bilang lu gak punya sisir?"
Nyeletuk sembarang gitu tiba-tiba pluk, kepalanya ketimpuk sisir yang dilempar Jay.
"Berisik anjing," gerutu Jay. "Udah rapi lu sana dah berangkat. Udah jam delapan lewat lima belas."
Yang terheran-heran kenapa yang mulia Abraham tiba-tiba ada di kamar kostnya Jay pagi buta: hari itu adalah hari-H kompetisi debat yang beberapa minggu ke belakang jadi alesan Abe kurang tidur. Kalau diperhatiin baik-baik, udah nambah cekung dikit tuh kantung matanya. Abe nggak mau menghadapi segala macam masalah di rumah yang mungkin bakal menyita konsentrasinya, jadi selama tiga hari ke belakang ini dia stay di kost-nya Jay.
Kost Jay tuh enggak sepetak doang tapi gak luas juga.. dua orang masih muat tapi lama-lama kerasa juga sumpeknya. Tapi Jay tahan-tahan aja; gitu-gitu best friendnya lagi jatuh bangun memperjuangkan sesuatu yang nantinya bakal dibagi sama dia juga.
Abe that day looks pretty much well-groomed; pake kemeja hitam sama celana bahan plus sabuk, rambut disisir rapi dibelah dua. Biasa ngampus pake kemeja juga sih tapi hari itu pembawaannya terkesan lebih 'profesional'.
"Good luck cuy," ucap Jay. Dia udah bangun dari kasur, nganter Abe sampe daun pintu kamar. "Gua nyusul ya, mandi dulu bentar."
Abe ngangguk. "'I'm moving you out to a bigger space watch me."
Jay ngangguk-ngangguk aja. Dia tau it's more than just a big space for him. It's the independence.
"Irish tau gak?" tanya Jay sesaat sebelum Abe mundurin mobilnya.
Abe ngelirik sekilas. "Enggak," sahutnya. "Gak usah dikasih tau juga kayaknya, dia banyak pikiran."
Kedua tangan Jay tenggelam di balik saku jaketnya. "Oke."
Sebelum bener-bener naikin kaca jendela, Abe mendesis. "I know you're going to tell her anyway."
ㅡ
One thing about Abraham Kin that probably not many people know: he's a laid-back person and a bit slow at some occassions, but once he actually sets a goal, he's going to do all the steps properly, carefully and skillfully.
Terakhir Abe merasa berapi-api melakukan sesuatu adalah kelas 2 SMA ketika hari-harinya masih penuh sama kejuaraan figure skating. Senin sampai Minggunya penuh sama latihan serta evaluasi, dan tiap harinya dia lalui dengan tekun.
Api yang, sayangnya, sempat mati selama hampir dua tahun itu akhirnya nyala lagi di hari itu ketika Abe berdiri sebagai mahasiswa Hukum yang mengikuti kompetisi debat. Walaupun alasannya enggak begitu layak alias cuma ingin memenuhi ekspektasi ayahnya aja, seenggaknya percikan gairah itu kembali terasa di relung hatinya.
It feels bland to live with no passion. Selama dua tahun ke belakang Abe merasa 'mati'.
Selama lomba berlangsung, pikirannya cuma fokus ke debat; gak ada sama sekali matanya geser ke audiens, barangkali nyari temen-temen sefakultasnya yang ngabarin mau dateng. Setelah debat dinyatakan selesai, baru deh dia dapet celah untuk menelisik jajaran bangku yang hampir terisi penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
melting ice | sunghoon gaeul
FanficIrish jatuh hati, and she's ready to risk more of what she have. The thing is, is it the same another way around? © fenderking, 2022. #1 - Gaeul (220119) #1 - Aistumn (230214) #19 Sunghoon (220512)