Keesokan harinya, Renjun dikejutkan dengan panggilan masuk di ponsel-nya dari Karina. Gadis cantik itu berkata jika Jaemin mau mengurus pernikahannya. Senyum simpul terpatri di bibir Renjun, ingatan pemuda manis itu berseluncur pada perdebatan-nya dengan Jaemin semalam.
“Kau benar-benar tidak ingin mempertimbangkannya?” tanya Renjun sesaat setelah Jaemin mengakhiri panggilan keluarga mereka. Pemuda manis itu menatap rumit sang kakak yang beberapa hari ini terus menanyakan hal yang menurutnya tidak perlu dibahas lagi.
“Dengar, sebagai kakak, sahabat, dan rekan kerja aku hanya ingin kau mulai menata hidup mu kembali. Kau lihat sendiri bagaimana kami semua mengkhawatirkan mu. Kami hanya ingin kau melangkah maju. Hidup mu masih panjang dan kau tidak mungkin berkubang dalam rasa sakit mu selamanya.”
Renjun menarik nafas gusar, dia kelepasan namun tak menyesali ucapannya. Sudah waktunya sang adik membuka lembaran baru dalam hidupnya.
“Berbahagialah, Kami semua berharap kau bahagia. Tidak terus menerus menghukum diri seperti ini. Kau tau, aku mulai muak menghadapi sifat keras kepala mu. Tatap lurus kedepan, kejar kebahagiaanmu dan jangan pernah menoleh lagi kebelakang jika itu menyakitimu."
Renjun mengusap kasar air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipi-nya. Ditatapnya sang adik yang tak juga bergeming. Dia frustrasi, sangat frustrasi menghadapi sifat keras kepala Jaemin. Akhirnya, Renjun bangkit dari duduknya, berlalu pergi meninggalkan sang adik yang masih mematung di kursinya.
“Baiklah nona Yoo, aku akan mulai menyusun proposal untuk acara pernikahanmu”
Renjun mendengar suara tawa renyah Karina sebelum mengakhiri panggilan. Lagi-lagi Renjun tersenyum, merasa tak sia-sia ia mengamuk semalam. Semoga hal ini dapat menjadi awal kesembuhan sang adik karena sudah sangat lama Renjun berharap Jaemin dapat berdamai dari masa lalu dan mulai menyusun lembaran baru dalam hidupnya.
---
Dua hari kemudian, Karina datang ke kantor untuk meeting pertama mereka. Seperti biasa, gadis itu terlihat begitu menawan dengan segala pernak-pernik yang terpasang di tubuh semampai-nya.
“Selamat siang, maaf aku terlambat. Ada beberapa pekerjaan yang menahan ku.” Sapa Karina pada Jaemin dan Renjun yang baru saja turun dari lantai atas setelah mendengar bel.
“Selamat siang nona Yoo, aku Na Jaemin yang menghubungi mu dua hari yang lalu” Balas Jaemin sembari mengulurkan tangannya pada Karina.
Keduanya bersalaman singkat lalu Jaemin mempersilahkan Karina untuk duduk dan Renjun berjalan ke ujung ruangan untuk mengambil minuman.
Pertemuan itu berlangsung cukup lama karena mereka membahas banyak hal sekaligus. Persiapan pernikahan yang singkat membuat Jaemin dan Renjun memutar otak untuk menyusun proposal acara yang bisa dikerjakan dengan cepat namun tetap sesuai dengan keinginan Karina. Beruntung mereka tak perlu susah payah mencari hall tanpa booking di jauh hari karena ternyata keluarga Karina memiliki bisnis perhotelan yang lumayan besar di Inggris, jadi gadis itu memilih untuk melangsungkan pernikahan di ballroom salah satu hotel keluarganya.
Masalah makanan juga menjadi lebih gampang karena Karina juga akan menggunakan catering dari pihak hotel. Jadi The Wedding hanya perlu menyiapkan vendor, makeup artist, photographer dan gaun.
“Bagaimana dengan design ini, yang ini sembilan puluh persen mirip dengan yang kau inginkan”. Jaemin menyerahkan ipad-nya kepada Karina, menampilkan beberapa contoh dekorasi yang pernah mereka kerjakan.
“Bagus, aku menyukai-nya”
Jaemin mengangguk puas.
“Baiklah kami akan menghubungi tim dekorasi untuk meeting lebih lanjut karena mungkin ada beberapa bunga hias yang tidak bisa dipakai. Untuk gaun dan tuxedo kami sudah menghubungi pihak butik, mereka menyarankan untuk memilih gaun yang sudah ada karena waktunya sangat mepet. Untuk tuxedo kau bisa memilih untuk dibuatkan sesuai keinginan mu atau memilih yang sudah jadi di butik. Kami akan mengatur pertemuan jika kau sudah setuju. Dan untuk makeup artist dan photographer kami sudah mencantumkan beberapa rekomendasi dan hasil pekerjaan mereka di proposal. Kau bisa memilih-nya”
Karina tersenyum puas, merasa tak menyesal memilih The Wedding untuk menangani acara pernikahannya. The Wedding benar-benar sesuai dengan penilaian orang tak heran banyak yang merekomendasikan tempat ini.
“Baiklah nona Yoo, kami akan mengirim jadwal pertemuan secepatnya”
---
Sepulang dari kantor, Jaemin memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman dekat penthouse-nya. Pemuda itu berjalan sendirian menyusuri jalan setapak yang mulai tertutup dedaunan kering yang berjatuhan sembari memikirkan perkataan Renjun semalam.
Selama lima tahun ini, Jaemin selalu hidup dalam keputusan-nya sendiri, menutup akses untuk siapapun memasuki hidupnya termasuk keluarganya sendiri. Jaemin sadar betapa khawatir seluruh keluarganya pada dirinya. Namun Jaemin masih tidak bisa melepas semua rasa sakit di hatinya. Selama ini ia selalu berfikir bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mengerti apa yang ia rasakan. Mereka hanya menuntut Jaemin melupakan semuanya tanpa tahu bagaimana hatinya.
Mereka berfikir jika Jaemin hanya merasa kehilangan dan belum siap membuka kehidupan baru tanpa bayangan masa lalu. Padahal, apa yang Jaemin rasakan lebih dari itu. Pemuda itu menderita, merasakan setiap penyesalan yang selalu menggerogoti seluruh kebahagiaan-nya. Jaemin bukan hanya menyesali masa lalu-nya namun ia juga tak berhenti menyalahkan diri atas segala hal yang telah terjadi.
Jaemin memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman setelah berjalan lumayan jauh. Sesekali matanya memperhatikan beberapa orang yang menikmati musim gugur bersama orang yang mereka sayangi. Jaemin tersenyum sendu, ia pernah berada di posisi itu, menikmati setiap udara musim gugur dengan penuh kebahagiaan, berlarian di tengah dedaunan kering yang berjatuhan, dan menghangatkan diri di depan perapian dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Semua tampak sempurna saat itu, benar-benar sempurna. Sampai saat itu terjadi, musim gugur lima tahu lalu yang berhasil merenggut segala kebahagiaan-nya.
Tangan kurus Jaemin mengepal erat saat satu persatu kenangan indah dan buruk tiba-tiba menghantam ingatannya, bertumpukan bagai kaset rusak yang siap kapanpun membunuhnya. Tangan kanan Jaemin bergerak, mencengkram dadanya mencoba menghilangkan rasa sakit disana yang malah semakin parah. Sangat sakit hingga rasanya ia ingin melakukan sesuatu untuk mengalihkan rasa sakitnya.
Tanpa sengaja mata Jaemin melihat sebuah ranting kecil yang tergeletak di sebelah kakinya. Pikiran Jaemin kacau, rasanya sudah tak tertahankan lagi hingga tanpa sadar tangan kanannya bergerak meraih ranting itu, bersiap menggoreskan benda yang lumayan tajam itu ke lengannya sendiri namun sepasang tangan hangat berhasil menghentikannya. Jaemin mendongak, mendapati mata kelam yang sangat ia kenali menatapnya degan penuh kekhawatiran.
“Hyung” lirih Jaemin.
Pemuda yang dipanggil hyung itu membawa tubuh sang adik dalam dekapan-nya, tangannya bergerak mengambil rating yang masih berada dalam genggaman Jaemin untuk dibuang sebelum mengusap lembut punggung kecil sang adik yang mulai bergetar hebat. Diam-diam hatinya merasa lega luar biasa karena datang tepat waktu.
“Jaehyun hyung”
“Hyung di sini sweetheart”
Tangis Jaemin semakin kencang begitu mendengar ucapan lembut kakak sepupunya. Jung Jaehyun anak dari bibi-nya lagi-lagi datang bak superhero di saat terburuk seorang Na jaemin.
“Kenapa takdir begitu tega hyung?” ratap Jaemin disela tangisnya. Tangannya mencengkram kuat mantel tebal yang dikenakan sang kakak.
“Kami sedang bahagia saat itu, kenapa hyung?”
Jaehyun hanya diam, membiarkan Jaemin melampiaskan segala rasa sakit yang ada di hatinya. Hingga beberapa saat kemudian suara tangis si manis semakin melemah. Jaehyun menunduk, tersenyum kecut saat melihat adik kesayangannya sudah tertidur akibat terlalu lelah menangis.---
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING ORGANIZER [NOMIN]
FanfictionNa Jaemin dengan segala luka di hatinya memilih untuk kabur ke London, meninggalkan segala kenangan manis di setiap sudut Korea. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir dari mata indahnya, ia berkata pada seluruh anggota keluarganya bahwa ia ingi...