Jaemin menatap lekat sebuah pohon tak terlalu tinggi bertuliskan nama sang anak dengan pandangan yang sulit diartikan. Senyum kecutnya terbit mengingat bagaimana ia meraung di depan makam ini lima tahun yang lalu dan itulah satu-satunya kunjungan yang ia lakukan selama lima tahun terakhir. Jaemin memang tak pernah lagi mengunjungi sang anak sejak saat itu karena tak punya nyali. Semua hal yang berkaitan dengan Logan dan Jeno selalu menyakitkan untuknya.
"Hai sayang, mommy datang. Maaf mommy tak pernah menjenguk mu. Kau marah?" Lirih Jaemin sembari meletakkan sebuket lili putih di depan pohon itu.
"Setelah ini mommy akan sering menjenguk mu. Tapi maaf, mommy tidak bisa datang bersama daddy, tak apa kan sayang?"
Netra bulat Jaemin melirik ke pohon yang ditanam tepat disebelah pohon anaknya. Pohon itu memiliki tinggi yang sama dengan milik Logan. Makam Lee Jeno, seharusnya sebelum ia mengetahui segalanya. Makan ini turut dibuat oleh keluarga Jaemin untuk mengenang sosok Jeno tanpa tau bagaimana keadaan yang sesungguhnya karena keluarga Jeno mendadak menghilang kala itu.
Jaemin berbicara cukup lama di makam anaknya ditemani Haechan yang sesekali juga ikut menimpali cerita Jaemin. Keduanya baru beranjak setelah hari semakin sore.
Suara musik dari radio mengawal perjalanan mereka sore itu, tak ada yang berniat membuka suara. Haechan diam karena menghargai Jaemin dan memberi waktu pria manis itu untuk menata kembali hatinya.
Bagi Jaemin, mengunjungi makam anaknya bukanlah hal yang mudah. Pergi ke sana sama saja membuka kembali luka yang belum tertutup sempurna. Haechan sangat mengerti akan hal itu jadi, ia lebih memilih untuk diam, memberi waktu Jaemin untuk menata kembali hatinya yang mungkin saat ini sedang sangat kacau.
---
Keesokan harinya Jaemin ikut sang ibu untuk mengurus restoran. Pria itu nampak sangat manis dengan hoodie hijau kesayangannya dan celana jeans putih. Jangan lupakan rambut pink nya yang di biarkan menutup kening. Sangat manis dan menggemaskan.
"Kenapa menggunakan pakaian seperti itu?" Tanya Xiaojun pada sang adik saat mereka telah tiba di depan restoran. Si sulung Nakamoto itu menawarkan diri untuk mengantar Jaemin dan sang ibu.
"Kenapa memangnya?" Tanya si manis sembari menaikkan satu alisnya.
"Kau terlihat sangat manis. Aku takut kau di culik dominan kurang ajar nanti."
Ucapan Xiaojun mengundang tawa kedua orang yang masih setia duduk di kursi penumpang. Sejak dulu Xiaojun memang sangat posesif jika menyangkut dua adik kembarnya.
"Adikmu memang selalu manis dengan pakaian apapun sayang."
Xiaojun mendengus ucapan ibunya memang benar dan ia mengakui hal itu. Dua adik kembarnya memang sama-sama manis dan terkadang ia sampai harus benar-benar waspada untuk menjaga mereka. Tak tau saja Xiaojun jika dirinya juga tak kalah manis, beruntung menjadi Yuta yang di kelilingi makhluk manis seperti mereka.
"Sudah, mama dan Nana pergi dulu. Kau berhati-hati lah ke kantor."
Setelah mobil Xiaojun pergi, Jaemin meminta izin untuk pergi ke minimarket karena ingin membeli cemilan sedangkan sang ibu masuk terlebih dahulu ke restoran.
Udara sudah semakin dingin menandakan musim dingin yang hampir tiba. Jaemin mengeratkan jaketnya dan melangkah kecil ke arah minimarket yang berada beberapa ratus meter dari restoran sang ibu.
Saat sudah akan sampai di pintu minimarket seseorang tiba-tiba mencekalnya membuatnya terkejut setengah mati hingga hampir terjungkal. Jaemin sudah akan memaki orang tersebut namun urung saat matanya bertemu dengan sepasang obsidian hitam yang selama ini berhasil memporak-porandakan hatinya.
"Jeno?"
---
"Ada apa?" Tanya Jaemin begitu keduanya telah duduk di salah satu cafe. Pria manis itu sudah mengirim pesan pada sang ibu agar tidak khawatir.
"Aku tak bisa melanjutkan semuanya." Ucapan Jeno membuat Jaemin tak mengerti.
"Apa maksudmu Jeno?"
"Aku tak bisa menikah dengan Karina sedangkan hatiku sudah sepenuhnya milikmu."
Jaemin melotot tak percaya dengan perkataan Jeno. Ia memang tak pernah tahu apa alasan Jeno menikahi Karina. Ia pikir Jeno memang memiliki perasaan dengan gadis itu.
"Jangan bercanda."
Jeno menggeleng, satu tangannya dengan berani menggenggam tangan Jaemin yang kebetulan berada di atas meja.
"Aku sudah tertarik denganmu sejak awal melihatmu termenung di cafe. Aku berbohong saat mengatakan alasanku ke cafe itu saat itu, aku baru sering datang ke cafe karena ingin berjumpa denganmu. Pernikahanku dan Karina sejak awal memang perintah dari ayahnya dan aku tak bisa menolak karena saat itu aku memikirkan perusahaan ku."
Jeno menjeda ucapannya, menarik nafas dalam.
"Sekarang, aku tak peduli lagi dengan perusahaan itu karena aku sudah memiliki tujuan, yaitu dirimu."
Kesunyian menyelimuti keduanya setelah Jeno mengatakan hal itu. Hanya sayup-sayup perbincangan dari pelanggan lain yang terdengar. Jaemin masih bungkam mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan.
Entah kenapa saat ini hatinya ragu, padahal bisa saja ia berlari ke Jeno dan memilih untuk egois karena ternyata Jeno juga mencintainya. Tapi, dilain sisi ia memikirkan banyak hal,
Ia memikirkan keluarga nya yang pasti tak akan suka jika ia merebut calon suami orang lain.Lebih dai itu, ia juga memikirkan bagaimana sakitnya Karina nanti. Jaemin pernah gagal menikah dan rasanya sangat menyakitkan. Mengingat senyum Karina dan bagaimana antusias gadis itu menyiapkan pernikahan membuatnya tak tega. Jaemin tau Karina tak pernah bermaksud merebut Jeno darinya. Bisa dibilang mereka adalah korban dari keegoisan seseorang. Jadi, Jaemin tak pernah bisa membenci sosok gadis itu.
"Jeno ya, kau akan menikah sebentar lagi, aku tak mungkin membuatmu merusak semuanya." Ucap Jaemin akhirnya.
"Tapi aku tak mencintainya. Aku mencintaimu dan aku ingin kau yang menjadi istriku."
Jaemin kembali terdiam, pemuda itu sedikit goyah. Bagaimanapun juga, Jeno adalah cinta pertamanya, mereka sudah menghabiskan waktu hampir setengah hidup mereka bersama dan sudah banyak kenangan yang mereka ciptakan selama itu.
"Jeno, aku-"
Si manis menjeda ucapannya saat tiba-tiba teringat perkataan nyonya Lee yang secara tak langsung tak menginginkan keberadaannya di sekitar Jeno.
"Maaf Jeno aku tak bisa, aku sudah pernah gagal dalam pernikahan dan hal itu sangat menyakitkan. Aku tak mungkin menghancurkan kebahagiaan Karina."
"Kau tau, aku membangun The Wedding karena ingin mewujudkan pernikahan impian banyak orang karena pernikahanku sendiri gagal dan aku tak mau menjadi penyebab kegagalan pernikahan seseorang. Itu sangat menyakitkan Jeno."
Jaemin melepaskan genggaman tangan Jeno, beranjak dari duduknya, membungkuk kecil sebelum pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan Jeno untuk berbicara.
Semua sudah selesai. Seperti janjinya pada seluruh keluarganya, Jaemin akan bangkit tanpa menyakiti siapapun.
---
Sore harinya saat Jaemin dan sang ibu sedang berkemas untuk pulang, Jeno kembali menghubungi. Awalnya Jaemin mengabaikan panggilan itu, namun ternyata panggilan itu tak kunjung berhenti hingga si manis berakhir menerimanya.
"Halo, Jeno ya ada apa?"
Jawaban dari seberang telepon membuat Jaemin mematung, pria itu bahkan sudah menjatuhkan ponselnya dan langsung berlari begitu saja meninggalkan sang ibu yang kalang kabut mengejarnya karena cemas.
"Ada apa sayang?" Tanya Winwin begitu berhasil mencekal tangan Jaemin.
"Jeno, Jeno kecelakaan. Aku, aku harus kesana."
---
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING ORGANIZER [NOMIN]
أدب الهواةNa Jaemin dengan segala luka di hatinya memilih untuk kabur ke London, meninggalkan segala kenangan manis di setiap sudut Korea. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir dari mata indahnya, ia berkata pada seluruh anggota keluarganya bahwa ia ingi...