Sudah satu minggu semenjak pertemuan terakhir Jaemin dan Jeno. Kedua pria itu belum bertemu lagi. Lebih tepatnya, Jaemin yang menghindar. Pria manis itu tak datang ke cafe tempat mereka biasa bertemu dan bahkan ia melempar pekerjaannya pada Renjun.
Ucapan Jeno saat itu melukai hatinya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimat itu namun saat mendengar langsung dari bibir Jeno rasanya sangat menyakitkan. Dulu mereka begitu antusias menyiapkan pernikahan, bahkan Jeno yang saat itu sedang sangat sibuk selalu menyempatkan waktu mengurus ini itu dan sekarang pria itu juga terlihat antusias menyiapkan pernikahannya dengan orang lain.
Jaemin menyesap teh camomile yang baru saja ia buat. Kepalanya sangat pening dan perutnya mual akibat mabuk. Semalam ia lebih memilih melampiaskan rasa sakitnya dengan minuman beralkohol. Ia mabuk semalaman tanpa teman karena Renjun harus mengurus beberapa hal di Korea dan baru akan kembali esok hari.
Kalau boleh jujur, Jaemin lebih suka melampiaskan emosi dengan melukai dirinya sendiri dari pada minum alkohol. Tapi entah setan dari mana yang merasuki pria Na itu sehingga ia berakhir menegak habis tiga botol bir hingga pagi ini ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri.
Suara bel menggema di penthouse. Si manis menebak-nebak siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini. Tidak mungkin Jaehyun atau Haechan karena dua pria tampan itu sudah tau password penthouse Jaemin.
Si manis berjalan ke arah pintu dengan langkah terseok. Merutuki siapapun yang tak henti-hentinya memencet bel. Pintu terbuka dan hal pertama yang Jaemin lihat adalah wajah khawatir Jeno. Jaemin menyipitkan matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
"Selamat pagi, maaf bertamu tiba-tiba."
Jaemin yang masih sedikit linglung langsung tersentak mendengar suara husky Jeno.
"Ah iya, ada apa?" Tanya Jaemin tanpa berniat mempersilahkan Jeno masuk.
"Aku hanya khawatir karena tak melihatmu beberapa hari. Apa kau sakit?"
Jaemin menggeleng pelan lalu tiba-tiba rasa mual kembali melandanya. Pria manis itu buru-buru pergi ke kamar mandi meninggalkan Jeno yang nampak semakin khawatir begitu saja.
"HOEK, HOEK" Cukup sudah Jaemin benar-benar merutuki kebodohannya. Pemuda itu kembali mengeluarkan isi perutnya, membuat tenggorokannya perih dan pelupuk matanya basah karena air mata. Tubuhnya ambruk ke lantai begitu selesai memuntahkan seluruh isi perutnya.
Beberapa saat kemudian ia beranjak, membasuh wajah dan bibirnya dengan air sebelum keluar dari kamar mandi, ia membutuhkan air untuk meredakan rasa sakit di tenggorokannya.
Saat berhasil keluar dari kamar mandi, Jaemin dibuat terkejut medapati Jeno yang sudah berdiri di depan pintu dengan segelas air di tangannya. Pria cantik ituu baru menyadari jika ia tak sempat menutup pintu hingga si tampan bisa menerobos masuk.
"Kau tak apabaik-baik saja? Cepat minum!" Tanya Jeno sembari menyodorkan gelas di tangannya yang langsung di terima dan di tegak habis oleh Jaemin. Pria itu juga memapah Jaemin hingga ruang tengah, membantu si manis duduk dengan nyaman di sofa.
"Kau ada masalah? kenapa minum alkohol sebanyak ini?"
Jaemin meringis saat menyadari arah pandang Jeno tertuju pada beberapa botol beer yang berserakan di atas meja ruang tengah.
"Ada yang mengganggu pikiran mu?"
Jeno kembali bersuara dengan begitu lembutnya hingga membuat Jaemin ingin menangis saat itu juga. Jaemin benar-benar merindukan suara lembut itu. Ah tidak, lebih tepatnya Jaemin merindukan segala hal mengenai pria di hadapannya.
Rasanya Jaemin ingin menjadi egois, segera merengkuh tubuh yang amat ia rindukan itu dan tak akan mau melepaskannya lagi. Namun, mengingat janji yang ia sampaikan kepada keluarganya sebelum kembali ke London dan juga status Jeno yang sebentar lagi akan menjadi milik orang lain membuat Jaemin mengurungkan niatnya, beralih menangis tersedu-sedu tanpa bisa dicegah.
"Astaga, kenapa menangis?" Jeno memekik terkejut melihat Jaemin yang tiba-tiba menangis. Entah keberanian dari mana, Si pria April menggeser tubuhnya, merengkuh tubuh si yang lebih muda untuk ia dekap erat. Sesekali ia usap lembut tubuh bergetar itu dan ia belai lembut puncak kepalanya sembari mengumamkan kata-kata penenang.
---
"Aku hanya merindukan tunanganku" Ucap Jaemin setelah selesai menangis. Saat ini kedua pria itu sedang duduk bersisian di sofa dengan tv yang menyala. Secangkir coklat hangat berada di tangan keduanya.
"Dia benar-benar mirip denganku?"
Jaemin menangguk tanpa sadar.
"Sangat mirip."
Si manis mengulurkan tangannya menunjuk ke arah beberapa foto yang tergantung rapi di sisi kanan tembok.
"Kami selalu menulis postcard setiap bepergian kemanapun, aku suka musim gugur jadi dia mengajakku keliling dunia untuk melihat musim gugur di berbagai negara. Tapi ternyata kami hanya sempat mengunjungi beberapa negara. Kami berencana pergi ke jepang setelah menikah tapi hal itu tak pernah terjadi hingga saat ini."
Jeno hanya diam, tak berniat menyela ucapan si manis.
"Kenapa tuhan begitu jahat? Kami bahkan sangat bahagia saat itu. Kami benar-benar bahagia tapi kenapa?" Jaemin kembali terisak dan Jeno dengan sigap merengkuh kembali tubuh si manis seperti yang ia lakukn tadi.
"Besok kau libur?"
Jaemin mengangguk di dalam dekapan Jeno.
"Ayo berkemas, kita ke Jepang. Aku akan menjadi tunanganmu untuk beberapa hari"
Ucapan Jeno membuat si manis terkejut, ia melepas pelukan mereka, menatap Jeno dengan pandangan yang tak bisa di artikan.
"Kau berkata, aku mirip tunanganmu. Jadi, ayo kita pergi ke Jepang. Anggap saja aku tunanganmu. Tapi berjanjilah setelahnya kau harus hidup lebih baik."
Apakah Jaemin boleh egois saat ini?
---
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING ORGANIZER [NOMIN]
ФанфикNa Jaemin dengan segala luka di hatinya memilih untuk kabur ke London, meninggalkan segala kenangan manis di setiap sudut Korea. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir dari mata indahnya, ia berkata pada seluruh anggota keluarganya bahwa ia ingi...