Hai
Masi bangun?
---
Jaemin sepertinya memang sudah gila saat menyetujui tawaran Jeno yang lebih gila. Saat ini keduanya sudah berada di bandara, berjalan sembari bergandengan tangan menuju pesawat persis seperti sepasang kekasih yang akan berlibur.
Semua terjadi begitu saja bahkan Jaemin seperti masih tidak percaya dengan apa yang saat ini ia lakukan. Pemuda manis itu bahkan diam saja saat Jeno menggenggam erat tangannya.
Beberapa kali si manis melirik tautan tangan keduanya. Ia bahagia tak perlu di tanya lagi namun mengingat keadaan mereka membuat rasa bahagianya seketika sirna. Jeno terlalu mendalami perannya sebagai 'tunangan' dan hal itu membuat si yang lebih muda merasa takut. Ia takut setelah ini ia malah akan semakin menjadi egois.
"Ingin duduk di sebelah jendela?"
Jaemin tersadar dari lamunannya, sedikit celingukan karena baru menyadari jika mereka sudah berada di dalam pesawat.
"Jaem?"
"Huh?"
"Ingin duduk di sebelah jendela?"
Jaemin mengangguk seadanya lalu bergegas duduk disusul oleh Jeno kemudian. Tautan tangan mereka sudah terlepas, membuat Jaemin diam-diam merasa sedih. Pria manis itu sadar jika ego nya sudah mulai mengambil alih tanpa bisa dicegah.
Perjalanan menuju Jepang memerlukan waktu sekitar empat belas jam dan keduanya menikmati waktu bersama dengan banyak obrolan.
Rencananya, mereka akan menghabiskan waktu di jepang selama tiga hari lalu singgah ke Korea sebentar. Semua rancangan perjalanan sudah mereka buat secara matang bahka keduanya juga sudah membuat list tempat-tempat yang akan mereka kunjungi.
Musim gugur ini, menjadi musim gugur terindah dalam hidup Jaemin selama lima tahun terakhir. Namun tak bisa dipungkiri jika ada beban pikiran yang sejak tadi mengganggunya.
Apakah setelah ini ia boleh semakin berharap? Atau ini akan menjadi kenangan indah terakhirnya di musim gugur?
---
Dering ponsel yang tak kunjung behenti membuat tidur Jaemin terusik. Pria manis itu melirik jam yang ada di atas nakas, menghela nafas panjang karena ternyata masih pukul enam pagi. Semalam ia dan Jeno tiba dini hari. Keduanya langsung pergi ke hotel untuk istirahat, berencana akan memulai perjalanan mereka setelah makan siang namun ternyata Jaemih harus terbangun sepagi ini karena seseorang tak berhenti menghubunginya sejak tadi. Pria manis itu bangkit dari tidurnya, meregangkan otot tangan sebentar sebelum meraih benda pipih yang masih saja berdering.
"NA JAEMIN PULANG SEKARANG!" Suara melengking Renjun terdengar begitu Jaemin menerima panggilan itu.
"Aku baru saja tiba, aku akan pulang tiga hari lagi"
"Jaemin jangan bercanda. Cepat pulang aku tidak mengajarimu untuk merebut calon suami orang lain"
Dada Jaemin bergemuruh saat mendengar ucapan begitu menyakitkan dari sang kakak.
"Merebut, aku merebutnya? Bukannya mereka yang merebut Jeno dariku?".
"Keadaan kalian sudah berbeda Jaem, Jeno bukan milikmu lagi. Jadi ayo pulang lalu ayo mulai menata hidup baru. kau mau kan?" Suara Renjun terdengar semakin lirih.
"Aku akan pulang tiga hari lagi." Putus Jaemin masih dengan keras kepalanya.
"NA JAEMIN JANGAN KERAS KEPALA! Kau akan menyakiti dirimu sendiri. Aku akan menyusul mu. Beri tahu aku dimana kau sekarang dan aku akan menyusul mu"
Jaemin reflek menggeleng, pelupuk matanya telah penuh dengan air mata yang siap mengalir kapanpun saat ia berkedip. Ia hanya memiliki waktu beberapa hari untuk bersama Jeno jadi, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Aku mohon, pulang ya sayang. Hyung janji akan mengabulkan semua permintaanmu. Ayo pulang, dan kita buka lembaran baru."
"Tidak hyung, aku ingin menghabiskan waktu dengan Jeno walaupun hanya sesaat." Suara Jaemin mulai bergetar pun tubuhnya pun ikut bergetar karena menahan tangis.
"Jaem, Jeno sudah memiliki kehidupannya sendiri. Ia juga sudah melupakanmu. Jadi ayo kita menata hidup baru tanpa ada namanya di hidupmu."
"Aku tidak bisa."
"Baiklah, hyung tau kau di Jepang. Tunggu ya, hyung akan menyusul setelah ini. Jangan kemana-kemana ok?"
Jaemin meletakkan kembali ponselnya setelah panggilan itu terputus. Jantungnya berdetak begitu kuat hingga rasanya sangat menyakitkan. Tangis yang sejak tadi berusaha ia tahan luluh seketika. Ucapan Renjun benar adanya, selama ini ia terlalu naif untuk mengakuinya. Jaemin hanya ingin menyimpan banyak kenangan tentang Jeno sebelum melupakan semua hal tentang pria itu namun kenapa tak ada yang mendukungnya?
Ponsel Jaemin kembali berdering. Kali ini nama Jeno yang terpampang di caller id. Si manis mengambil nafas panjang, menghembuskannya perlahan lalu menerima panggilan tersebut.
"Sudah bangun?"
"Sudah"
"Buka kan pintu ayo sarapan"
Jaemin beranjak dari kasurnya, merapikan sedikit penampilannya sebelum berlari kecil menuju pintu. Ternyata Jeno sudah menunggu di depan pintu dengan beberapa bungkusan di tangannya. Pria itu juga terlihat sudah rapi tak seperti Jaemin yang masih kuyu.
"Aku membeli makanan cepat saji tak apa kan?"
"Tidak masalah, terimakasih Jeno"
"Sama-sama" Jeno menggusak lembut surai Jaemin sembari tersenyum lebar hingga kedua matanya menghilang, membentuk lengkungan bak bulan sabit yang sangat menawan.
"Masuklah"
Keduanya memutuskan untuk makan sembari menikmati emandangan dari balkon kamar. Sesekali Jeno akan membuka pembicaraan namun Jaemin hanya akan menjawab seadanya.
"Dimana kau dan tunanganmu bertemu dulu?"
Jaemin menoleh dengan cepat saat mendengar pertanyaan dari Jeno. Si manis menatap pria tampan di hadapannya dengan pandangan sulit di artikan.
"Ah tak apa jika kau tak ingin bercerita, aku hanya penasaran" Ucap Jeno lagi sembari mengusap tengkuknya saat menyadari jika pertanyaannya mungkin akan membuat si manis sedih.
"Tak apa akan aku ceritakan"
Jaemin mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, menyiakan diri untuk kembali mengenang masa lalu.
"Kami bertemu saat musim gugur dua belas tahun yang lalu." Si manis mulai bercerita, menceritakan kenangan indahnya dengan sang pujaan hati bertahun-tahun silam. Senyum di bibirnya mengembang sempurna membuat Jeno diam-diam ikut tersenyum.
"Jadi kalian sudah kenal selama itu?" Tanya Jeno begitu Jaemin menyelesaikan ceritanya.
"Ya, kami sudah kenal sangat lama"
"Jaemin ah, bagiamana tunanganmu biasa memanggilmu"
Jaemin mengangkat sebelah alisnya begitu mendengat pertanyaan konyol Jeno. Namun ia tetap membuka mulut untuk menjawab.
"Sugar."
"Baiklah, bisakah aku memanggilmu begitu selama disini?"
Dan lagi-lagi Jaemin dibuat terkejut namun berakhir mengangguk menyetujuai. Untuk kali ini saja, tiadak apa kan?
"Baiklah, cepat berkemas sugar, kita akan jalan-jalan setelah ini." Ucap Jeno sembari tersenyum begitu lebat.
Dada Jaemin bergemuruh begitu mendengar kembali panggilan yang sudah sangat lama tak ia dengar. "Renjun ah, bolehkah aku berharap lebih setelah ini?"
Renjun benar, apa yang di lakukan saat ini akan menambah luka baru di hatinya.
---
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING ORGANIZER [NOMIN]
FanfictionNa Jaemin dengan segala luka di hatinya memilih untuk kabur ke London, meninggalkan segala kenangan manis di setiap sudut Korea. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir dari mata indahnya, ia berkata pada seluruh anggota keluarganya bahwa ia ingi...