Seorang gadis menggunakan hanfu hitam berjalan terseok-seok menuju ke kediamannya yang tidak bisa dibilang layak,sebuah gubuk tua berdindingkan bambu. Dia miskin? Tentu tidak. Dia kaya bahkan sangat kaya raya.
Gadis itu baru saja selesai berburu di hutan, namun dia tidak mendapatkan satu ekor buruan pun untuk dimakan. Ralat, lebih tepatnya tidak ada satupun hewan di hutan itu.Aneh, kemana perginya semua binatang itu? Pikirnya.
Dia merebahkan tubuhnya di kasur usang miliknya. Gadis itu adalah Jemisha Athanasia, Orang disekitarnya selalu memanggilnya dengan panggilan Athana yang berarti Abadi. Gadis cantik dari benua Glorantha, pengendali element es dan api yang menciptakan perpaduan warna biru dan merah di rambut dan matanya. Element yang saling berlawanan tapi juga berhubungan. Setiap kultivator memiliki warna bola mata dan rambut yang sama dengan Element yang dimilikinya.
Tidak lama kemudian, Misha memasuki kamarnya dan duduk disampingnya.
Awalnya sang ibu hanya duduk diam namun bisa ditebak jika ia sedang dilanda kegundahan " Athana, ada yang ingin ibu sampaikan kepadamu" ujarnya langsung" Ada apa?"
" kau harus sekolah, dan ibu juga sudah mendaftarkan mu di sebuah Academy" ujar Misha memecahkan keheningan.
" Buat apa Bu?" Tanya Athana bingung.
" Kau harus mempersiapkan dirimu mulai dari sekarang" jawab Misha
" Buat apa?" Athana semakin bingung
" Kau terlalu cerewet putriku, jalani dulu maka kau akan tahu seiring berjalannya waktu" ujar sang ibu yang gemas akan sikap Athana.
" Mengapa kau tidak memberi tahu kepada ku dulu ibu?"
“Karena kau pasti akan menolak nya" ujar sang ibu langsung.
" Tapi bu...." Athana mencoba merayu ibunya untuk membatalkan nya. Dia tidak ingin masuk ke dalam Academy yang hanya akan mengurung dan mengekang nya.
" Persiapkan dirimu, kau akan berangkat besok lusa" ujar sang ibu meninggalkan gadis itu dengan pandangan memohonnya
" Oh ibu, ayo lah kumohon" Athana menyatukan kedua tangannya didepan dadanya berusaha membujuk sang ibu.
" Tidak bisa Athanasia" jawab Misha
"Ibu aku tidak ingin bertemu dengan para kultivator dari benua lain" Athana masih merengek kepada ibunya
" Kenapa?" Tanya Misha
" Mereka berbahaya bagiku ".
Athana menunduk lesu sedangkan Misha tertawa mendengar penuturan putrinya. Ayolah, Athana kau yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari monster terkuat sekalipun."Mengapa kau malah tertawa, aku takut ibu. Mereka akan membuat ku tidak bisa mengendalikan emosi sehingga merubah ku menjadi monster secara tak langsung" ujar Athana pasrah. Salah satu alasan mengapa ia tidak ingin masuk Academy.
Misha menatap putrinya lekat lalu tersenyum. Ia mengelus puncak kepala Athana, memegang kedua bahunya.
" Ibu percaya kau bisa dan ingat lah bahwa didalam dirimu ada jiwa lain yang bisa membahayakan siapapun orang disekitar mu, Bahkan orang yang kau sayangi sekalipun. Jadi jangan biarkan jiwa itu menguasai ragamu. Ketika kau emosi, berusahalah untuk tetap tenang dan tidak terpancing agar jiwa itu tetap tersegel. Dan juga dia akan menyerap satu persatu element yang kau miliki jika kau membiarkan nya" ujar sang ibu mengingat Athana.
" Baiklah, " akhirnya Athana pasrah dan mengikuti kemauan sang ibu agar dirinya belajar di Academy. " Kapan kita berangkat?" Imbuhnya.
" Besok pagi, jadi bersiaplah"
" Ibu, itu terlalu mendadak. Aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan ku" bantah Athana kembali tak terima.
" Kalau begitu kita akan berangkat malam, jadi kau masih punya waktu untuk menikmati kebebasan mu" Misha mengerti dan sangat faham jika putrinya tidak memiliki teman, bukannya tak ada yang ingin berteman hanya saja Athana lah yang membentengi dirinya sendiri dan tak membiarkan siapapun masuk kedalam hidupnya. Misha sudah berulang kali menyuruh Athana untuk mencoba menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar tempat tinggal mereka, namun Athana selalu menolak dengan alasan jika ia tidak suka akhir yang sulit.
~~~~
Athana keluar dari gubuk nya pagi-pagi sekali, bahkan matahari saja belum menampakkan wujud nya. Sebenarnya, ia sama sekali tidak tidur hanya untuk menikmati detik-detik terakhir bersama kehidupan bebasnya. Tidak, lebih tepatnya dia tidak bisa tidur karena memikirkan kehidupan yang akan dijalani nya di dalam Academy dengan berbagai macam pertanyaan yang bersarang di otaknya.
Disinilah Athana sekarang, di atas bukit yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Berdiri memandang guratan langit pagi yang mulai terang.cahaya bulan mulai meredup digantikan dengan sang matahari. Tak pernah terlintas dipikirannya tentang kehidupan seperti hari esok, membuatnya terus menerus menghembuskan nafas gusar.
" Bagaimana kehidupan ku setelah hari ini?"
Dinginnya udara yang berhembus tidak mengusik ketenangan nya. Ia memejamkan matanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rasanya dia seperti tidak akan merasakannya lagi dihari esok.
" Bagaimana aku bisa menggagalkan rencana mu ibu? Kalaupun kau tidak mengizinkan ku menolak, setidaknya beritahu aku alasannya agar aku tahu tujuan ku"
Athana mendesah frustasi, entah sudah berapa kali dia menghela nafas kasar. Athana beranjak dari bukit dikarenakan matahari sudah mulai meninggi. Dia tidak ingin menghabiskan waktunya di sana, masih banyak tempat yang harus dia kunjungi untuk mengeluh.
Sekarang beralih ke air terjun dibalik bukit, tempat favoritnya untuk berkeluh kesah ketika dia berdebat bersama ibunya, entah karena paksaan berteman dari ibunya atau karena bersekolah. Sebenarnya Misha sudah pernah membahas nya, tapi itu sudah sangat lama dan bertahun-tahun yang lalu disaat umurnya sembilan tahun sedangkan sekarang dia sudah berusia 16 tahun.
Sekitaran air terjun terdapat sebuah gua, yang didalamnya terdapat seekor singa putih jantan yang sudah bersama Athana semenjak dia kecil. Singa tersebut bahkan mempunyai ikatan kontrak dengannya. Tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri dan mengeluh didalam air.
Pilihan terakhir kunjungan nya adalah sebuah rumah pohon yang berada diketinggian delapan ribu kaki dari tanah. Tempat nya menyimpan semua benda pribadi dan penemuannya.
Athana terus memasukkan semua benda-benda penting ke dalam cincin ruang nya. Tangannya berhenti ketika melihat sebuah kalung dengan permata Ruby terhempas disudut ruangan. Tergerak untuk mengambil dan mencoba, pantulan cermin memperlihatkan indah dan sangat cocok dilehernya membuatnya tak ingin melepaskan nya.
Sesuai dengan ucapannya, ia mengunjungi setiap tempat yang menjadi sumber ketenangannya, tidak ada satupun yang terlewatkan. Semua mendapatkan salam perpisahan meskipun dengan cara yang berbeda.
Akhir dari hari itu adalah menghabiskan sisa waktu dengan duduk di rumah pohonnya menikmati indahnya guratan langit sore yang mulai menampakkan warna senjanya. Memutar kembali semua kegiatan yang dilakukannya seorang diri, terlihat sederhana tapi baginya sangatlah istimewa.
" Apakah aku bisa kembali lagi ketempat ini? Sungguh, aku pasti akan sangat merindukan semua ini"
KAMU SEDANG MEMBACA
The last element
FantasyApapun yang ada dijagad raya ini bisa berubah. Entah karena waktu, tentang siapa saja yang mereka temui atau hukuman yang langsung diturunkan oleh semesta. Layaknya kotak Pandora yang menyimpan begitu banyak misteri didalamnya, yang akan terbuka pad...