Minho duduk termenung di atas ranjangnya. Menggenggam erat ponsel di tangan yang mulai tidak dia sadari sama sekali tidak berguna. Ponsel itu kehilangan fungsinya untuk menghubungi seseorang atau bahkan sekadar mencari informasi. Tidak bisa.
Suasana hatinya juga tidak menentu, sama halnya seperti pikirannya. Rasanya seperti penuh, tapi tidak bisa diungkapkan. Dia tidak tahu apa yang salah, apa yang sudah dia lewati, dan apa yang harus dia lakukan. Minho tidak tahu sama sekali. Dia kehilangan arah.
Tiba-tiba tanpa disadari air mata sudah menetes di pipinya. Jika ditanya apa yang ditangisi dia pun tidak tahu. Kenapa dia menangis di saat tidak memikirkan apapun? Bagaimana bisa? Apa yang salah? Apa yang dia tangisi?
Wajahnya disembunyikan di atas lututnya yang ditekuk, dia menangis tergugu di sana, menangis hingga rasanya kepalanya sakit dan berdenyut.
Saat pintu kamarnya terbuka dan membuat cahaya yang dia benci masuk, Minho mengerang tidak suka. Dia ingin tetap tidak terlihat. Changbin pernah bilang tidak suka saat melihatnya. Biarkan saja Minho ditelan gelap.
Changbin, nama itu membawa suka juga duka baginya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ada rindu yang tersimpan, tapi di alam bawah sadarnya bilang jangan, nanti sakit, dia akan dalam bahaya. Minho takut.
"Minho."
Panggilan bernada lembut itu dia abaikan. Dia tahu siapa yang memanggil, itu kakaknya.
"Min," panggilnya sekali lagi.
Minhyuk menunggu cukup lama. Sepertinya tidak akan bisa dia bicara dengan Minho kalau masih ada cahaya, jadilah dia tutup pintu kamar, lalu kembali duduk di samping adiknya. Membiarkan mereka duduk di antara gelapnya kamar yang terasa pengap; hanya ada cahaya dari ventilasi kamar, itu pun tidak banyak. Setidaknya Minhyuk masih bisa melihat wajah Minho walau tidak terlalu jelas.
"Inget nggak lo pernah bilang sama gue suatu saat bakal pergi travelling bareng? Hidup nomaden yang penting happy, ke sana sini nggak mikirin yang lain. Inget nggak?"
Tidak ada jawaban. Minho terus menundukkan wajahnya dan beringsut semakin jauh.
"Gue pengen banget wujudinnya. Kayaknya bakal seru ngedaki gunung bareng lo yang penakut, main di pantai, eksplor tempat baru yang jarang orang tau, atau lo mau coba survival di tempat terpencil? Gue bakal ikut ke mana pun lo mau."
Minhyuk rasa dia tidak butuh lagi masalah duniawi. Dia sudah bekerja cukup lama dan mengumpulkan banyak uang. Masa itu terlewati dengan tumbal waktunya bersama adik kecilnya. Jujur, Minhyuk merasa bersalah dan berniat menebusnya saat ini.
"Kalo lo mau ke mana? Sama kayak yang gue sebutin nggak?" Tanya Minhyuk lagi. Namun kali ini dia beranikan diri untuk mengusap kaki Minho yang tertutup selimut tebal.
Minho terisak pelan, lalu sedikit mengangkat wajahnya. Dia tatap kakaknya di antara gelap. Dan Minhyuk tidak bisa untuk menahan tangannya, dia usap air mata di pipi adiknya. Namun justru air matanya yang jatuh kejar-kejaran. Hatinya remuk melihat adiknya begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATH OF SACRIFICE | MINBIN [✓]
FanfictionHubungan yang dipertahankan hanya dari satu pihak sudah pasti sulit bertahan, tapi Minho pikir tidak apa untuk mencoba. ... "wajar sih, gue kalo jadi cowok lo juga pasti berantem tiap hari. Dan kalo gue cowok lo, kayaknya udah putus dari hari pertam...