Chris berlari kecil untuk kejar langkah Changbin. Begitu dekat, dia tabrak pelan bahu sahabatnya itu.
“Gue liat-liat udah lama lo nggak ke bar,” dia sibak rambutnya dan pasang topinya. Langkah mereka selaras dan keduanya sontak jadi pusat perhatian. Punya visual rupawan memang sulit untuk tidak menarik atensi orang lain.
“Hidup gue udah bener kayaknya,” sahut Changbin sambil terkekeh geli. Mereka berbelok ke kanan, kelas hari ini ada di lantai dua gedung B Fakultas Seni. Dan kelas akan dimulai lima belas menit lagi.
“Oh, lo udah nerima cowok lo, ya?”
“Langsung ke sana aja pikiran lo.”
Keduanya pilih duduk di bangku tengah-tengah bagian pinggir kanan. Kalau terlalu ke belakang takutnya jadi bulan-bulanan dosen. Mereka akan terus-terusan jadi target empuk untuk diuji di depan kelas.
“Gimana ya,” Chris mendesis pelan, “masalah hidup lo itu cuma asmara, yang lainnya aman-aman aja.”
“Si anjir,” umpat Changbin. Dia keluarkan notes kecil dan bolpoinnya dari dalam tas. “Tapi bener juga sih,” lalu dia tertawa bersama dengusan sebal Chris.
“Serius gue, Bin. Cowok lo itu jangan disia-siain. Gue kalo bisa milih lebih bagus dicintai daripada mencintai.”
“Mulai, mulai.”
Chris itu iseng saja jadi bartender, aslinya freelance producer juga seperti dirinya. Jadi tidak heran kalau bahasanya terkadang puitis.
“Dengerin dulu,” susah memang kalau bicara dengan si bebal Changbin. “Lo bayangin, kapan lagi bisa dicintai segila itu sama orang lain. Gue nggak ngejek cowok lo ya, gue justru amazed sama dia yang bisa-bisanya cinta mati sama cowok kayak lo.”
Wajah Changbin kecut seketika, “maksdu lo?”
“Maksud gue ya lo harusnya seneng, bangga bisa punya yang kayak dia.” Chris lalu mendekatkan tubuh mereka, kemudian berbisik, “kalo bosen bolehlah buat gue aja.”
“Si anjir,” plak.
“Sakit, bego.”
“Elu yang bego. Sekali lagi ngomong gitu gue hajar lo ya, Christopher.”
Bodo amat, chris serius bilang begitu. Kalau dikasih kesempatan ya syukur, nggak ya, ya sudah. Kan lumayan punya cowok ganteng kayak Lee Minho.
***
Minho langsung lari keluar kelas begitu jamnya usai. Tingkah buru-burunya buat dia tidak sengaja tabrak seseorang. Orang itu terdengar sebal saat menggerutu.
“Maaf ya, gue buru-buru.”
Mau tidak mau dia bantu orang itu kumpulkan kertas yang berserakan. Tangan minho berhenti di salah satu kertas, “ini…”
Sret
Kertas itu direbut paksa. Begitu mereka bertemu tatap, Minho tertegun seketika. Ingin dia sapa. Namun urung karena sosok tersebut sudah pergi lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATH OF SACRIFICE | MINBIN [✓]
FanfictionHubungan yang dipertahankan hanya dari satu pihak sudah pasti sulit bertahan, tapi Minho pikir tidak apa untuk mencoba. ... "wajar sih, gue kalo jadi cowok lo juga pasti berantem tiap hari. Dan kalo gue cowok lo, kayaknya udah putus dari hari pertam...