-27-

5 1 0
                                    

Sebulan telah berlalu, tapi Bulan tetap tak berubah, bahkan semakin hari ia semakin cuek terhadap sekitar.

"Bulan kenapa Dan? Gue udah gak pernah liat dia bareng Ayla lagi sekarang," Shaka berucap seraya menyeruput kuah soto yang ada di sendok nya.

"Iya, gue juga gak pernah liat lagi sekarang, bahkan gue gak pernah liat mereka pulang bareng kaya dulu lagi," ujar Aldo, ia menyedot es coklat nya melalui pipet.

Zidan mengangkat bahu nya acuh, "ntah, gue gak tau, ada masalah mungkin," ucap nya terkesan tak peduli.

"Gue juga heran, semenjak sebulan yang lalu Bulan berubah, dia ngejauh dari Ayla, dia bahkan gak seceria dulu, dia lebih banyak diem, kalo ngomong seperlu nya doang, kadang gue kasian liat Ayla yang selalu ngajak ngomong tapi gak di tanggepin sama Bulan," ucap Kafka, ia tak tau mengapa Bulan berubah, terkadang ia juga merasa kasihan dengan Ayla yang selalu di acuh kan oleh Bulan.

"Biar lah, mungkin lagi ada masalah, bukan urusan kita juga buat ngurusin mereka," ucap Zidan. Ucapan nya memang terlihat seakan ia tak peduli dengan Bulan dan Ayla, namun dalam hati nya ia sedang cemas dengan opini yang teman-teman nya lontarkan.

Saat mereka berempat sedang asik mengobrol ria, seorang gadis tak terlalu tinggi dengan rambut sebahu yang sengaja di gerai dan bando berwarna merah yang senantiasa ada di atas kepala nya itu datang dengan wajah sombong nya, ia berjalan berlenggak lenggok layak nya model papan atas yang selalu menjadi objek pandangan, namun nyatanya tidak ada yang memperhatikan diri nya.

Tangannya ia kalungkan di leher Zidan dengan manja, membuat orang-orang yang berada di meja itu mendengus. Bukannya iri, mereka malah jijik melihatnya, seperti sedang melihat lalat yang mengerubungi tong sampah.

"Sayang, nanti aku pulang sama kamu ya," ucap Shella dengan nada manja, dagunya ia tumpukan pada kepalan Zidan.

"Memang mobil kamu kenapa?" Tanya Zidan membalas dengan mata yang terus fokus pada game yang ada di ponselnya.

"Rusak kali, makanya ngerecokin lo mulu," celetuk Aldo sudah mulai julid, matanya memandang Shella tak suka. Sebenarnya sudah sejak awal Shella masuk ke dalam sekolah ini, ia sudah tak suka dengan gadis itu, sifatnya yang seenaknya dan selalu menyalahkan orang membuat rasa yang awalnya sekecil biji jagung itu membesar dengan perlahan.

"Tau, ngerecokin mulu lo. Katanya orang kaya masa beli mobil baru gak bisa?" Sindir Shaka yang juga tak suka akan kehadiran Shella.

Diantara kedua temannya yang saling sindir-menyindir hanya Kafka yang diam, ia terlalu malas menanggapi bacotan tak berfaedah ini.

Shella memajukan bibirnya beberapa centimeter, bukannya terlihat imut, mereka malah bergidik ngeri. "Hih, merinding gue," ucap Shaka mengelus bulu kuduknya yang berdiri.

"Sayang, liat temen kamu. Masa mereka ledekin aku sih," aduh Shella dengan suara mendayuh. Ia terus menggerakkan pundak Zidan.

"Siying, liit timin kimi. Misi miriki lidikin iki sih," ledek Shaka yang di susul tawa bersama Aldo. "Preeett, hahahaha."

"Sayang, jangan game mulu liat dulu mereka," Shella semakin kuat menggerakkan pundak Zidan, membuat Zidan menjadi tak fokus.

Zidan menghela nafas berat. "Jangan diledekin," ucap Zidan pada akhirnya.

Seakan ada pengaruh besar, mereka berdua langsung terdiam membuat Shella diam-diam tersenyum miring.

"Ya ya ya? Nanti aku pulang sama kamu ya? Aku ga mau tau pokoknya aku mau pulangnya sama kamu," ucap Shella semakin menjadi-jadi.

Zidan hanya berdehem, terlalu malas menanggapi. Ia kembali melanjutkan bermain gamenya tanpa peduli sekitar.

"Beneran ya sayang?" Dengan senyum lebar yang terpatri Shella berucap.

"Iya Shella."

"Sayangnya mana?" Rajuk Shella.

"Iya Shella sayangku."

Kafka yang awalnya hanya diam memutar bola matanya malas. "Dih, si paling," ujarnya sarkas.

☆☆☆

P

antai.

Tempat itu sepertinya akan selalu menjadi saksi bisu dalam kehidupan Bulan.

Dulu ia sering kemari bersama Ayla. Menghabiskan waktu berdua, menikmati keindahan sunset pada sore hari. Tetapi itu semua hanya bisa ia kenang sekarang.

Ada setitik rasa menyesal di dalam hatinya. Ia terus berandai jika ini hanya bunga tidur yang di sebut mimpi.

Namun sayang seribu sayang, semua ini kenyataan, nyata tanpa ada halusinasi sedikitpun. Harapan itu hanya bisa ia pendam, memang harus di pendam.

Pandangan yang awalnya mendongak itu perlahan mulai menunduk ketika kenangan manis melintasi pikirannya. Disaat ia dan Ayla berlari kesana-kemari dengan tawa yang menyertai, senyum lebar tanpa beban yang menemani. Semua itu sekarang hanya akan menjadi kenangan.

"Kejar gue kalau bisa hahaha."

Bulan tampak tertawa lebar disana, dengan Ayla yang terus mengejar, tawa keduanya mengudara.

"Awas ya, gue kejar lo," kata Ayla.

"Gue ... Kangen lo Ay."

Air mata menetes begitu saja dari pelupuk matanya, sudah tak kuat menahan genangan air yang hampir tumpah itu.

"Gue kangen... Ga salahkan Ay? Kalau gue kangen sama lo?"

Suara ombak terus terdengar, membuat suara Bulan yang pelan hampir teredam.

Lututnya yang ditekuk menjadi tumpuan kepalanya, hijab hitam yang di kenakan juga sudah lecek.

Air matanya tak kunjung berhenti bahkan tangisnya semakin menjadi, suara isak yang awalnya tak terdengar mulai membesar, pundaknya juga sudah mulai bergetar dengan hebat.

Biasanya disaat dia sedang seperti ini Ayla akan selalu ada di sampingnya, akan selalu memeluk tubuhnya dengan rengkuhan hangat yang menenangkan, tapi... Semua itu sudah takkan pernah terjadi lagi, itu hanya kenangan yang Bulan bayangkan akan terulang kembali di masa depan.

"Maaf."

"Maaf."

"Maaf, gue belum bisa jadi sahabat yang lo harapin selama ini Ay."

"Gue gadis kotor, gue gak pantes buat main sama lo lagi, maaf."

Dengan suara yang bergetar karena menangis Bulan terus menggumamkan kata maaf.

ZIDANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang