23. Kesalahpahaman

1K 83 3
                                    

◎H a p p y   R e a d i n g◎

✨📚✨

Karena pertengkarannya dengan Aidan kemarin, Airil jadi memilih untuk bangun lebih awal agar dapat berangkat ke sekolah tanpa harus berselisih dengan Aidan nantinya.

"Adek. Kamu yakin mau berangkat sepagi ini? Ngga takut?" cemas Viona. Arloji dinding saja baru menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit, dan anak bungsunya ini sudah berniat berangkat ke sekolah. Bagaimana dia bisa tidak khawatir coba?

"Ngga pa-pa, Ma. Lagipun, pasti udah ada siswa yang dateng ke sekolah. Mama ngga perlu khawatir. Aku janji bakal jaga diri. Nanti, kalau bisa pun, aku juga bakal chat Luna supaya dateng lebih cepet. Oke?"

Meskipun ragu masih menyelimuti hatinya, Viona mau tak mau tetap terpaksa mengiyakan keinginan keras anak perempuannya itu. "Yaudah. Jangan lupa sarapan dulu pas udah di kelas ya? Mama udah nyiapin nasi goreng kesukaan kamu tuh."

Airil tersenyum manis sembari mencium pipi Viona penuh sayang. "Oke! Makasih banyak, Mamaku tercinta! Adek pamit dulu ya!"

Viona membalas dengan kecupan kecil di dahi Airil. "Baik-baik pake motornya ya, Dek! Hati-hati! Jangan ngebut! Jangan meleng kesana kemari!" peringat Viona seraya mengikuti Airil hingga di depan pintu.

"Iya-iya! Aku bakal super duper hati-hati, persis kayak perintah Mama!! Dah!!" Kemudian, Airil mulai melajukan motornya menuju sekolah. Meninggalkan Viona yang masih risau akan dirinya.

"Semoga Airil baik-baik aja di sekolahnya nanti." Setelahnya, Viona kembali masuk ke dalam rumah dan kembali bersiap-siap untuk memulai rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasa.

Sementara itu, Airil masih berada di jalanan menuju sekolahnya. Jauh dari kata takut, ia malah terbilang menikmati sejuknya udara pagi hari. Ditemani kicauan kecil dari burung-burung, membuat suasana indah di pagi ini.

"Gue baru sadar kalau jalanan di novel ini ngga selalu rame. Apa mungkin karena ngga terlalu di sorot sama penulisnya ya?"

Yah ... bagaimanapun, Airil tetap bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Walau ia harus hidup dengan dikelilingi masalah yang harus diselesaikan secepatnya. Hm, it's okay-lah, selama ia masih sanggup melakukannya.

Sepuluh menit kemudian, Airil sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motornya di tempat parkiran yang rupanya sudah terisi oleh beberapa kendaraan. Dengan langkah lebar, Airil pun langsung berjalan menuju kelas.

Di pertengahan lorong sekolah, Airil tak sengaja melihat Dimas tengah berbincang dengan seseorang yang tampak seperti guru disini. "Pagi, Dim!!" sapa Airil disertai dengan senyuman lebarnya.

Sontak, pembicaraan Dimas pun terpotong gara-gara sapaan ramah dari Airil itu. "Kak---oh? Pagi juga, Ril. Tumben lo dateng cepet," sapa Dimas balik.

Airil tertawa kecil mendengar penuturan Dimas. "Haha. Iya nih. Lagi pengen aja gue, Dim."

"Kamu ... bukannya yang waktu itu, ya?"

"Eh?! Kakaknya Dimas?! Kok bisa ada disini?"

Aditya tersenyum lebar hingga semua deretan giginya terlihat jelas. "Oh iya. Kebetulan saya dipindahkan ke sini oleh pihak sekolah yang saya tempati dulu. Jadi, mulai hari ini saya akan bekerja di sini sebagai guru yang mengajar mata pelajaran kimia."

"Wah. Aku kira Kakak masih kuliah semester awal atau dua." Percayalah. Wajah Aditya yang terlalu babyface itu pasti sudah banyak menipu orang. Termasuk dirinya. "Udah kerja ternyata. Guru pula. Keren banget kakak lo, Dim. Pantesan aja lo encer banget otaknya. Gen keluarga emang ngga pernah salah ya." Airil berkata jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam.

What The Hell?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang