34. Konsekuensi

353 17 1
                                    

●H a p p y    R e a d i n g●

✨📚✨

"Laskar!" panggil Airil, tetap berada pada posisi awalnya. Sama sekali tidak berniat untuk menghampiri cowok itu.

"Apa?" sahut Laskar terdengar cuek dari ujung sana.

Kedua sudut bibir Airil menyunggingkan senyum tipis. "Makasih. Lagi-lagi lo bantuin gue di saat-saat genting kayak gini."

Laskar memilih untuk tetap diam. Menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut gadis itu.

"Karena urusan gue udah selesai, gue pergi duluan ya. Bye!"

Setelahnya, Laskar hanya mendengar suara kenop pintu yang terbuka dan kembali tertutup dengan cepat. Airil, gadis itu sudah pergi.

Laskar menghembuskan napasnya pelan. Baguslah. Kalau begitu, tidak akan ada lagi yang mengusik tidur siangnya kali ini. Apalagi, Mba Celia---sang penjaga UKS sekolah juga sedang tidak berada di sini untuk menegurnya.

Tringgggg!

Baru beberapa menit memejamkan mata sambil menikmati ketenangan yang didapatkan, meja nakas mendadak bergetar karena panggilan masuk dari ponsel Laskar.

Tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Laskar dengan malas menggeser icon hijau dengan logo berbentuk telepon ke atas untuk menjawabnya. Kemudian, dia menempelkan ponselnya itu ke telinganya.

"Kar, lo dimana?"

Laskar kembali menutup mata. Ternyata, cuma Laras, kakaknya yang menelepon.

"UKS. Kenapa?"

Di sebrang, Laras terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Laskar. "Papa sakit, Kar. Jadi-"

Begitu mendengar nama seseorang yang paling tidak ingin dia dengar sekarang, Laskar terpaksa membuka mata cepat dan menegakkan tubuhnya kembali. "Kak. Udah berapa kali gue bilang. GUE NGGA MAU KETEMU SAMA DIA! Dia itu pembunuh! Dia yang udah bikin Mama ngga ada! Mau sampai dia sekarat pun, ngga bakalan sudi gue jengukin dia!" sembur Laskar. Kakaknya itu benar-benar menguji kesabarannya. Padahal, dia sudah menekankan hal ini berulang-kali padanya. Tetapi, mengapa Laras masih belum mengerti juga?

"LASKAR! JAGA MULUT LO YA!"

Laskar tergelak, seolah ucapan Laras adalah hal terlucu yang belum pernah di dengarnya selama ini. "Tolong buka mata lo lebar-lebar, Kak! Semua yang gue omongin itu fakta! Kenyataan! Kenapa lo seakan lari dari kenyataan itu?" teriaknya berusaha menyadarkan Laras.

"Mama ngga ada karena penyakitnya, Laskar!"

"Dan pria itu malah memperburuk kondisi Mama, Kak. Ngga mungkin lo lupain hal sepenting itu." Laskar berdecih sinis. "Atau mungkin lo udah lupa?" sarkasnya.

Helaan napas panjang terdengar dari ponsel Laskar. Sepertinya, Laras sedikit lelah menghadapi sikap keras kepala adiknya itu. "Mama ngga bakalan suka denger lo nyebut Papa pembunuh, Kar ... "

Laskar menatap datar cermin yang kebetulan berada tiga langkah dari hadapannya. Wajah sendu Laras yang tengah memandangnya tiba-tiba terbayang di sana. "Gausah bawa-bawa Mama dalam pembicaraan kita."

"Oke! Gue berhenti. Tapi, inget ya, Kar. Lo bakalan nyesel karena ngga pernah ngasih Papa kesempatan buat ngejelasin semuanya."

Tut!

Laras menutup panggilan secara sepihak. Agaknya, wanita itu kesal karena Laskar terus saja membantah ucapannya dan memilih untuk berpegang teguh pada pemikiran childish-nya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What The Hell?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang