31. Alasan

197 14 1
                                    

●H a p p y    R e a d i n g●

✨📚✨

"Truth or dare?"

Rea mengangguk. "Setuju?"

Airil menatap Rea sangsi. "Oke. Kakak duluan."

Senyuman manis terpampang jelas di wajah Rea. "Tentu." Lantas, dia menjentikkan jarinya, dan hap! Kini, mereka sudah berada di tempat yang berbeda.

Taman yang dipenuh bunga daisy dan matahari terbenam sebagai latarnya menjadi tempat yang dipilih Rea. Bahkan sudah ada perlengkapan khas piknik di sini. Wah.

"Saya mulai ya." Rea mulai memutar botol, sebagai awal dari permainan ini.

Airil dan Rea menatap botol yang masih terus berputar dengan perasaan was-was. Dan ternyata, botol itu berhenti tepat pada orang yang memutarnya pertama kali.

"Jadi, apakah kamu mau mengetahui identitas saya secepat ini?"

"Kan emang ini tujuan aku dari awal ngikutin semua permainan Kakak."

Alis kiri Rea terangkat. "Tidak salah saya memilih kamu, Airil." Dia menyeringai lebar saat melihat Airil melayangkan tatapan datar padanya. Berbeda sekali dengan kesannya di awal tadi.

"Baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau." Rea bangkit. Lalu kembali menjentikkan jarinya. Tak lama, muncul data-data yang melayang tanpa adanya layar proyektor. Yah, semacam ilusi hologram dari teknologi displair.

"Mungkin kamu berpikir jika saya adalah penulis novel ini. Benar?"

Airil mengangguk. Ternyata, Rea bisa membaca isi pikirannya sejak tadi.

"Tebakan kamu tepat sekali. Saya memang penulis novel ini."

Fakta itu menjadi tidak terlalu mengejutkan, karena sedari awal hanya opsi ini yang paling masuk akal menurut Airil. "Kalau begitu, kenapa aku yang notabene-nya cuma orang luar, bisa ikut terseret di dalam novel ini?"

"Coba kamu perhatikan data-data dari para tokoh novel di depan kamu dulu."

Airil perlahan berdiri. "Jawab pertanyaan aku dulu, Kak." Demi Tuhan, ia tak ingin mendengar penjelasan apapun lagi. Ia hanya ingin secepatnya pulang dan keluar dari sini.

Rea menyeringai kecil. "Kalau saya bilang kamu terjebak dalam novel ini selamanya, apa yang akan kamu lakukan?"

"KAK!"

"Chill, Airil." Wanita itu terkekeh. "Makanya. Dengarkan penjelasan saya dulu."

Kali ini, Airil terpaksa menutup mulutnya rapat-rapat.

"Kamu bisa lihat dan baca sendiri kan?" Rea melirik sekilas tulisan dengan ilusi hologram yang terpampang jelas di depan mereka. Dan entah sejak kapan tulisan itu berubah menjadi data identitas dirinya beserta pas fotonya juga.

"Keberadaan kamu di tubuh tokoh figuran dalam novel ini, bukan hanya karena kesengajaan semata saya sebagai seorang penulis. Tetapi, memang sudah menjadi keputusan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat."

Bahu Airil melemas. Ia tahu betul ciri-ciri orang yang sedang berbohong atau tidak. Dan kini, Rea benar-benar berkata jujur padanya.

"Siapa orang dibalik semua ini, Kak?" gumamnya lirih.

Rea mengendikkan bahu sembari tersenyum lesu. "Sayangnya, saya juga tidak tahu, Airil. Saya hanya disuruh untuk melakukan hal ini oleh segerombolan lelaki berbadan besar dengan sebuah kontrak yang mereka bawa. Katanya, mereka datang atas perintah direktur perusahaan yang sedang menaungi buku-buku saya. Nama perusahaannya Dream of Innefable. Mungkin kamu pernah mendengarnya karena memang perusahaan ini sudah banyak mempromosikan penulis-penulis berbakat."

What The Hell?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang