25. Ambivalence

366 33 1
                                    

◎H a p p y   R e a d i n g◎

✨📚✨

"Serena?"

Mendengar namanya dipanggil kembali, kesadaran Serena mendadak datang lagi. Sejurus kemudian, dia langsung bergegas pergi menjauh dari tempat itu. Mengambil langkah lebar penuh was-was, Serena menguatkan hatinya agar tak goyah lagi seperti dulu.

"Serena! Ijinkan Papa untuk berbicara sama kamu sebentar saja!!"

Sementara Serena masih kukuh dengan pendiriannya, David---orang yang ternyata memanggil Serena, juga berusaha keras mengejar anaknya itu. Apapun yang terjadi, dia merasa harus menyelesaikan masalahnya dengan Serena saat ini juga. "Ser-"

Kedua kaki Serena lagi-lagi berhenti. "Papa mau apalagi?"

"Mau ngekang aku sama Kak Steven kayak dulu? Ngga puas liat kita tersiksa kayak gitu? Iya?"

David menggeleng sesaat. "Serena. Makanya dengarkan penjelasan Papa dulu. Setelah itu, terserah kamu mau bilang Papa apa saja. Tolong, beri kesempatan kali ini saja ... "

Helaan napas Serena terdengar lelah. "Semenjak Mama udah ngga ada, Papa itu udah mulai ngga peduli sama aku. Percuma aja aku ngedengerin penjelasan Papa sekarang." Ia memilih untuk melanjutkan langkahnya daripada harus mendengarkan omong kosong dari David lagi dan lagi. Sekarang? Entah bualan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya itu.

"SERENA! PAPA PUNYA ALASANNYA DIBALIK SEMUA ITU! TOLONG DENGARKAN PAPA SEKALI INI SAJA!! PAPA MOHON!!"

"Papa tahu ngga sebesar apa penderitaan aku selama ini?"

Satu detik.

Serena, gadis itu berbalik. Ia berjalan pelan menghampiri David dengan badan bergetar menahan tangis. "Besar banget, Pa."

Dua detik.

"Sampai akhirnya aku ada di titik dimana aku ngga bisa nahan semua itu."

Tiga detik.

Tawa sarkas penuh luka terdengar dari bibir pucatnya. "DAN APA YANG PAPA LAKUKAN? HAH! NGGA ADA, PA! YANG ADA DI OTAK PAPA ITU CUMA BISNIS, BISNIS, BISNIS! PEDULI APA PAPA SAMA AKU SELAMA INI? MAU MATI PUN, KAYAKNYA PAPA NGGA BAKALAN PEDULI." Tatapan penuh amarah dari mata Serena menunjukkan segalanya.

Napas David tercekat. Tatapan itu perlahan mencabik-cabik jantungnya. "Maafkan Papa ... "

"Sakit, Pa. Kenapa Papa ngga pernah bisa ngertiin aku?"

Perlahan-lahan, David mulai membawa Serena ke dalam pelukannya. Mendekap gadis itu erat dengan rasa bersalah yang begitu besar melingkupi dirinya. "Papa minta maaf, Serena ... Papa minta maaf ... "

"Kenapa?"

Walau awalnya menolak dan memberontak, Serena akhirnya bisa menerima pelukan David untuknya. Terasa hangat dan sesak bersamaan. Sungguh korelasi yang menyakiti batinnya. "Kenapa ngga sedari dulu Papa begini?"

David hanya bisa terdiam seribu bahasa. Mati-matian menahan bulir air di sudut matanya. Dia merasa sangat bersalah pada anak perempuan satu-satunya itu. Bodoh! Mengapa dahulu dirinya bisa setega itu?

Kelabunya langit malam itu, seakan ikut merasakan kesedihan mereka berdua.

✨📚✨

Di tengah-tengah lara Serena dan ayahnya, Airil masih sibuk mengawasi Farah dengan pria misterius di depan restoran tadi. Gadis itu masih setia mengamati lamat-lamat interaksi dua sejoli itu di dekat gerobak nasi goreng yang berada tak jauh dari keberadaan mereka.

What The Hell?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang