Ana

41 5 0
                                    

May, 1994
Ana memandang lama seisi kamarnya. Tidak tahu kapan akan kembali. "Aku pasti kembali",batinnya dalam hati.  "Terlalu banyak memori indah disini". Kamarnya tidak luas. Tidak kecil juga. Tempat tidur queen size dengan bed cover kuning lembut motif bunga matahari. Warna kesukaan mama. Ana teringat betapa rindunya ia dengan mama. Dadanya tiba- tiba terasa sakit.

Meja rias, lemari, meja tulis semua berwarna putih dengan serat kayu timbul. Kata mama, "putih cocok dengan semua warna". Dua buah koper memuat semua barang keperluan Ana. Satu koper besar satunya lebih kecil. Entah kapan ia akan kembali. Fikiran tentang hal itu membuatnya mual.

Ana sudah merapikan kamarnya. Seperti yang mama ajarkan,"rapikan kamarmu setiap kamu keluar kamar. Bahkan hanya kedapur. Serapi seperti yang kamu inginkan saat kembali masuk kamar". Tapi saat ini Ana tidak tahu kapan ia akan kembali. Ana mengambil kopernya dan menutup pintu. "Selamat tinggal", bisiknya dalam hati.

Diruang TV ada cermin Jepara. Ana melihat pantulan dirinya sekilas. Cantik. Ia memakai riasan tipis. Hanya untuk terlihat segar. Lipstik merah muda, perona pipi warna senada, eyeshadow coklat. Wajah ovalnya terlihat sempurna. Tubuhnya yang terbilang semampai untuk ukuran seusianya terbalut gaun putih selutut dengan lengan balon sesiku. Baju mama. Ana menyukainya.

Foto keluarga terpajang diruang tamu. Mama, papa, kak Kiki dan dirinya. Melihat foto papa rasa mual kembali melanda hebat.
"Sudah mbak?", tanya pak Gino supir mereka.
"Sudah, kita pergi".
"Ini saja barangnya?", tanya supir tua itu.
"Iya". Aku akan kembali batin Ana dalam hati.
"Kita berangkat sekarang mbak. Kata bapak sore sudah harus sampai Medan. Karena disana sering hujan, kabutnya tebal", balas pak Gino lagi
Ana mengangguk."papa tidak sabar membuang aib dirumahnya", batinnya lagi dalam hati

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang