Pertanyaan Aisha

12 2 0
                                    

Selesai Maghrib hujan sudah berhenti. Tidak ada kabut. Jalanan terang. Cuup aman untuk Ana berkendara. Mengingat ia hamil besar kini. Ana pergi menuju rumah Aisha.
"Assalamualaikum",sapa Ana sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumsalan, siapa?",sahut suara dari dalam
"Ana"
"Bibi Ana, mari masuk",seru Fatima girang
Ana tersenyum,"bibi bawa ijat pinggang besar yang kamu suka. Ngga muat lagi".
"Terimakasih bibi, ibuu bibi datang", jerit Fatima sambil berlari masuk,"aku coba dulu yah bibi".
"Ana, duduk. Sepertinya kita tidak perlu telephone. Ada kontak batin. Aku juga memikirkanmu", kata Aisha.
"Aisha, kita bisa bicara?", tanya Ana
Aisha bisa melihat ada sesuatu yang salah dari gerakan tubuh Ana. Dia gelisah.
"Kita duduk disana saja. Aku huatkan teh sebentar. Sudah makan?",tanya Aisha
"Sudah makan, teh saja cukup", balas Ana
Aisha membuatkan teh dan duduk didepan Ana. Menunggu Ana siap untuk bercerita. Ana masih memutar-mutar cangkirnya.
"Aisha, kamu pasti ada dengar dari Ari kalau kami tidak sedang baik-baik saja",lanjut Ana
"Aku ada dengar sedikit"
"Bang Hamid juga ikut ke penggilingan?"
"Ya,semua lelaki warga desa disana"
"Bang Ari sepertinya marah karena saya menerima surat dari bapak anak yang saya kandung. Saya juga beberapa menyuratinya", mulai Ana
"Dia masih hidup?, maksudku bapak dari bayimu?. Yang aku dengar dia sudah meninggal"
Ana menggeleng,"tidak, dia belum meninggal. Saya selalu berfikir dia pasti menginginkan anak ini dan saya tentu saja. Dia dokter, sekarang masuk tentara. Dia menulis disuratnya bahwa saya adalah gadis cantik yang berbakat. Yang pasti akn dicintai banyak orang. Bahwa dia tidak merasa bertanggung jawab atas bayi ini. Dan pada saat ini belum memikirkan berumahtangga. Yah dia juga mendoakan saya memiliki masa depan yang cerah".
Ana menangis pelan. Kemudian tangis itu bertambah besar. Sepertinya ia meluapkan semua isi hatinya kedalam tangisnya. Bagai anak kecil Aisha memeluknya. Membuat Ana menangis dipangkuannya.
"Saya begitu bodoh, begitu kotor, tidak pantas untuk siapapun", gumam Ana disela isak tangisnya.
"Sshhh....berhenti berfikir seperti itu. Semua orang bisa buat kesalahan. Yang penting bukan menyesalinya, tapi bangkit memperbaikinya".
"Orang desa akan tahu ada yang salah dengan kehamilan ini. Bang Ari tidak harus menanggung malu. Dia orang yang sangat baik. Dan saya telah mengecewakannya. Saya begitu bodoh berfikir bahwa Rian menginginkan saya. Mungkin sebaiknya saya pergi"balas Ana.
"Ari jika mencintai seseorang, ia total. Kalau kamuningin pergi, pergilah sekarang. Sebelum ia mencintaimu lebih dalam lagi. Ketika Ari kehilangan Abdul, adikku, ia sangat terpukul. Ia sangat menyayangi Abdul. Jika kau ingin tetap tinggal, tinggallah. Adikku sangat menyayangimu. Jika kau memutuskan pergi, kaubtidak akan menemui seorang pria yang bisa mencintaimu sehebat Ari", terang Aisha.
Ana terdiam. Dia hanya ingin Ari mendapat yang terbaik.
"Ana sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana sebenarnya perasanmu terhadap adikku?"

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang