Kehendak Tuhan

36 5 0
                                    

Ana menutup pintu kamar. Mulai membereskan beberapa barang. Pikirannya melayang. Kerumah. Tepat empat hari yang lalu. Percakapan dengan papa.
"Walaupun kita memiliki keyakinan akan takdir dan kemampuan memafkan orang lain. Tapi kita harus menghadapi kenyataan bahwa setiap perbuatan kita ada akibat, ada resiko, ada konsekuensi. Mungkin kamu berfikir pilihan yang papa berikan kejam untuk kamu. Tapi sadarilah, kamu sendiri yang memilihnya. Jika saja mama masih hidup, dia pasti akan setuju dengan keputusan ini. Demi kebaikan keluarga ini. Besok siapkan barang  keperluanmu. Lusa pagi pergilah".

Ana mengeluarkan beberapa bajunya dengan hati- hati. Ada tiga helai gaun. Satu biru muda dengan hunga-bunga pink kecil, kuning muda dengan motif daun kecil, pink dengan garis- garis gradasi pink muda menuju merah. Tiga helai rok panjang dibawah lutut. Merah, hitam dan biru tua. Warna yang cocok dengan hampir semua kemejanya. Lima helai kemeja lengan pendek sesiku dan dua buah kemeja lengan panjang dengan dasar putih motif bunga-bunga besar. Setelah itu lima helai baju tidur. Untung semuanya lengan panjang. "Udaranya sangat dingin di malam hari disana", kata papa

Mata Ana terpaku pada kotak kecil kado dari kak Kiki. "Jangan dimasukkan ke hati semua kata-kata papa. Ini hadiah kecil buatmu. Tetap semangat cantik", kata Kiki sembari memberikan kadonya. Satu set perhiasan mutiara dengan sebutir berlian. Ana sudah lama menginginkannya.

Ana mematut dirinya dikaca memakai perhiasan hadiah. Kemudian ia memegang bandul liontin yang dipakainya.  Hari itu hari ulangtahunnya.
"Agar kamu selalu mengingatku", bisik Rian. "Bukalah". Bandul liontin itu bisa dibuka. Dan didalamnya ada foto Rian. Ana tidak perlu foto untuk mengingatnya. Dia ingat setiap lekuk wajah dan tubuh lelaki itu.

Ana membuka kotak maharnya tadi. Seratus gram emas. Ada cincin belah rotan luar biasa besar. Rantai dan gelang padu. Bagaimana aku memakai perhiasan ini? Semuanya terlalu kuning. Ana menutup kotaknya. Membuka nakas disamping tempat tidurnya. Meletakkan kedua buah kotak itu disana. Kemudian mengunci lacinya.

Setelah mengosongkan kopernya. Menggantung semua baju dan menata peralatan kecantikannya, ia menuju keluar. Menuju kamar Aisha. Tidak ada apa- apa disana. Lemarinya kosong. Hanya beberapa sprei putih dan selimut didalamnya. Meja rias kosong. Nakas disamping tempat tidurnya berisi sebuah Alquran. Ada peralatan shalat juga.

Ana menuju kamar suaminya. Rapi. Ia membuka lemari baju. Ada sederetan kemeja lengan panjang. Disusun mulai dari warna paling muda hingga warna paling tua. Beberapa kemeja motif kotak-kotak gelap. Celana panjang dan jeans. Semua digantung. Setumpuk baju kaos dilipat. Tiga set baju koko putih digantung. Aroma lemari ini sangat menyenangkan, maskulin.

Ana menuju nakas. Membuka laci suaminya. Ada Alquran, peralatan sholat dan tiga buah jam tangan dalam kotak kaca. Jam otomatis. Dan semuanya hidup. Ana tidak melihat bang Ari memakai jam tangan. Tiba-tiba Ana mendengar pintu dibuka. Ia bergegas turun.
"Sudah pulang?", tanyanya retorikal.
"Ya, aku panaskan rendang dan ayam goreng dari Aisha sebentar. Nasi ada?",tanya Ari
"Saya siapkan meja", kata Ana sambil bergegas mengeluarkan beberapa piring dari lemari kaca. Piring itu sangat indah. Putih dengan garis emas dan lukisan mawar disatu sisinya. Mereka makan.
"Rice cooker ada disini, oven, kompor gas. Besok aku akan belanja keperluan dapur", kata Ari
"Saya tidak bisa memasak", balas Ana
"Aku bisa minta Aisha datang kemari mengajarimu".
"Tidak usah merepotkan. Kalau ada toko buku, saya akan beli beberapa buku masak", balas Ana lagi.
Ari hanya mengangguk. Ia melanjutkan makannya.
"Bang Ari, apakah tidak ada yang ingin kamu tanyakan dari saya?"
"Kau dulu kuliah?", tanya Ari
Ana terkesiap. Sejenak ia berfikir Ari akan bertanya ayah dari bayi yang dikandungnya.
"Ya, aku kuliah Matematika. Tidak sampai tamat. Mama sakit. Kakak sudah menikah. Jadi saya menjaga mama"
"Apakah sulit?, matematika?", tanya Ari lagi.
"Sedikit", jawab Ana
"Apa kesukaanmu?", tanya Ari balik.
"Saya suka berjalan di alam. Melintas gunung. Kemping. Melihat tanaman liar.  Menanam anggrek. Dan aglonema. Mereka indah".
Ari tersenyum. Ana sangat antusias. Dan ia selalu tersenyum jika bercerita.
"Dibelakang dapur, berjalan sekitar sepuluh menit ada sungai. Diseberangnya gunung",terang Ari.
"Sungai itu ditanahmu?"
"Tanah kita. Ya", balas Ari
"Saya boleh bertanya satu hal?", tanya Ana.
"Ya"
"Mengapa bang Ari setuju dengan pernikahan ini?",lanjut Ana.
"Waktu pastur bercerita tentang dirimu, aku merasa tertarik. Kurasa ini kehendak Tuhan", balas Ari tersenyum.
"Ah....kehendak Tuhan", ulang Ana terkesiap.
"Kalau tidak ada lagi, aku bereskan piringnya", tukas
Ana sambil bergegas berdiri
"Tidak usah, duduk saja. Mau kue?. Bolu coklat",?tawar Ari
"Tidak, terimakasih"
"Baiklah, kami petani tidur lebih awal, jadi selanat malam", kata Ari lagi.
"Malam"
Ana menuju kamar. Matanya belum bisa terpejam. Dia tidak biasa tidur secepat itu.

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang