Dokter Desa

16 3 0
                                    

July 1994
Ana memakai baju barunya. Sepatu rendah tanpa hak warna putih. Ia memakai parfum sedikit. Gugup. Paraktek dokter ini tidak jauh dari kota. Tempatnya bersih. Melihat plang namanya,dr Oesman. Pasiennya ramai. Ari menemaninya. Ari mendaftarkan istrinya. Mereka menunggu tidak lama. Tibalah giliran Ana.
"Semua penduduk desa ini hampir rata saya menyaksikan kelahiran mereka. Jadi ini hamil anak pertama?",tanya dokter itu tersenyum.
Dokter Oesman memeriksanya cermat. Ana salah tingkah, ia memilin ujung baju. Menggerakkan liontin.
"Sudah empat bulan", kata dokter sambil memeriksa catatan didepannya. Ada tanggal pernikahan mereka disitu. Dokter tua itu pasti tahu ada yang salah. Ia menuliskan sesuatu.
"Ini....ini semua kesalahan. Saya...saya rasa...", Ana bingung menyelesaikan kalimatnya.
Dokter tua itu melihat Ana lekat-lekat. Dan tersenyum seperti seorang ayah.
"Kalau nanti anaknya lahir, kau tidak akan melihatnya sebagai suatu kesalahan. Percayalah".
"Saya ingin mempercayainya",sahut Ana setengah melamun.
Selesai dari dokter, Ana meminta Ari singgah dikantor pos.
"Ini hari Sabtu, mereka tidak buka. Titip saja padaku. Senin ku pos kan".
"Tidak usah, sudah ada perangko. Tinggal masuk kotak pos itu saja. Untuk papa", kata Ana. Ia memasukkan suratnya ke kotak pos. Tertulis nama Rian Aleksander.
"Beli roti disana. Rotinya enak", ajak Ari
Ana mengangguk. Ada dua wanita paruh baya mendekati mereka. Mereka sangat ramah.
"Ari ini istrimu?, cantik sekali", tanya salah satu wanita itu.
"Ya, Ana ini bibi Jum dan bibi Yani"
"Kami tidak tahu kau sudah menikah. Nak tidak ada satupun wanita desa ini menarik perhatian Ari. Dimana kalian bertemu?",tanya bibi Yani
"Di Jakarta", balas Ari cepat
"Kamu ke Jakarta?, kami tidak tahu",balas bi Jum
"Kalian menikah dimana?",tanya bi Yani
Ana bingung harus menjawab apa,"kami kawin lari".
Mereka tertawa bersama. Kedua wanita itu melihat perut Ana.
"Sebentar lagi kita punya cucu",sahut mereka
"Ya, permisi bibi, kami buru-buru. Ana sering mual",lanjut Ari.
Mereka memilih beberapa roti dan keluar.
"Bang orang akan tahu, mereka akan bergosip"
"Aku tidak perduli perkataan orang"
"Bang kamu juga kan tidak kebal dari gosip"
"Mereka tidak akan berkata apa-apa, tenanglah"
Ana bingung,,"mengapa begitu?"
"Karena mereka menyayangi kita,pulang?"
Ana mengangguk. Pikirannya tidak tenang,"bang boleh saya jalan dengan Ros dan Tuti?"
"Ya kenapa tidak, ada yang harus kukerjakan dirumah. Pergilah dengan mereka"
Seharian Ari di pondok. Dia memperbaiki ayunan kayu. Masih sangat bagus. Ada boks bayi juga. Terbuat dari kayu jati dan sangat kokoh. Masih bagus. Tinggal mengamplas dan plitur sedikit. Ari membuka kotak besar yang dibawanya dari kota. Ternyata lemari kecil dan rak. Atasnya ada kasur kecil.
Ari membersihkan kamar kosong dekat dapur. Dulunya kamar tamu. Ada kamar mandi kecil didalamnya. Tempat tidur ukuran queen size, lemari dua pintu, sebuah nakas dan cermin kecil. Cocok buat kamar bayi, pikir Ari. Selesai membersihkan ayunan bayi, Ari menata kamar itu. Boks bayi ditempatkan dekat jendela. Ayunan disamping tempat tidur. Ada kursi goyang. Dia meletakkan rak yang tadi dirakitnya. Menata majalah Ayahbunda disana. Lemari kecil yang dibeli Ari adalah meja untuk memakaikan baju bayi. Dedy memesan semuanya. Hasilnya luar biasa indah.
Warna kayu mendominasi kamar bayi. Jendelanya besar menghadap sungai. Ari senang degan hasil kerjanya. Ia menutup pintu kamar untuk nanti kejutan buat Ana.
Keesokan harinya Ari memasang telfon dirumah. Aisha juga.
"Agar kau mudah menghubungi kakakmu", begitu terang Ari.
Sorenya baju hamilnya yang lain siap. Ros dan Tuti mengantarkannya . Mereka mengagumi kamar bayi yang baru. Ana suka menghabiskan waktu membaca buku dan majalahnya disana.

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang