Rumah

36 5 0
                                    

"Mari masuk. Tunggu didepan. Aku buka pintu"
Ari berjalan memutar menuju belakang. Rumah panggung. Dia menaiki tangga sambik membawa koper Ana.
"Saya ikut"
" Tidak, kau didepan saja. Ini hari pertama masuk rumah. Lewat depan lebih bagus", balas Ari
Ana hanya mengangguk. Didalam rumah sangat rapi. Sangat luas. Jendela besar sebesar pintu mengisi hampir semua dinding. Satu set kursi tamu, lemari pajangan kaca. Itu saja.  Ada tangga menuju lorong. Lorong panjang dengan pintu dikedua sisi. Sepertinya ini bagian dari rumah panggung. Diujung lorong tampak dapur luas dengan ruang TV. Jendela besar menghadap pemandangan ladang dan padang rumput didepan.
Dapur luas itu tertata sangat rapi. Lengkap dengan island kayu. Lemari wajan dengan pintu kaca. Beberapa deret wajan digantung rapi didalamnya. Laci dengan fungsi tunggal. Tempat sendok garpu. Tempat sutil, irus dan alat masak lain. Bahkan tempat pisau tersendiri. Ada kompor gas empat tungku dengan oven dibawahnya. Lemari es besar. Lemari kaca khusus untuk berbagai jenis piring. Set cangkir dengan teko juga tertata rapi disitu.
Gelas tangkai tergantung diatas island. Dibagian bawah island terdapat lemari tempat penyimpanan beras, gula, kopi dan bubuk teh. Beberapa mi instant juga tepung-tepungan.
"Wow, luar biasa dapur ini",seru Ana takjub.
"Sepupuku membuatnya. Dia pernah bekerja di Amerika menjadi tukang kayu"
"Jenius, semua sangat detail", kata Ana lagi.
"Lemari disudut itu ada rice cooker", terang Ari
Ana lega. Ia takkan bisa memasak nasi secara tradisional.
"Kuharap semuanya cukup. Mari kutunjukkan kamarmu"
Ana berjalan dibelakangnya menuju koridor. Ari membuka pintu pertama.
"Ini dulu kamar ayah ibuku. Kopermu disitu. Semoga kau suka". Kamar itu luas dan sangat terang. Tempat tidur king size dengan lemari empat pintu. Nakas dikedua sisi tempat tidur. Sebuah meja rias kecil dan gantungan baju. Kopernya terletak rapi di bench stool dikaki tempat tidur. Ia akan membongkarnya nanti.
"Kamar abang dimana?", tanya Ana. Dia belum bisa dekat dengan lelaki manapun. Jadi tidak berharap mereka satu kamar.
Ari tersenyum. Ada dua deret pintu didepan kamar ini. Pintu pertama berupa kamar kedua, berukuran setengah dari kamar utama. Sebuah tempat tidur queen size ditutup selimut perca. Lemari dua pintu dan meja rias serta sebuah nakas disamping tempat tidur.
"Ini dulu kamar Aisha", terang Ari
Ana berjalan menuju pintu satunya.
" ini kamarku", kata Ari lagi.
Kamarnya lebih luas sedikit dari kamar Aisha. Tapi tidak lebih luas dari kamar utama. Ada dua buah tempat tidur single. Satu ditutup selimut kotak-kotak. Satunya hanya diberi sprei putih dengan selimut kotak-kotak dilipat dibawah. Ada bantal juga diatasnya.
"Dulunya tempat tidur Abdul, adikku. Kamar mandi ada diujung sana", kata Ari sambil menunjuk ujung koridor.
Kamar mandinya luas dengan bak besar dan shower. Kloset duduk, washtafel dan gantungan handuk. Ana lega, kamar mandi disini lebih bagus dari rumahnya.
"Ada air panas juga untuk mandi. Biasa bayi mandi dengan air hangat", jelas Ari
"Luar biasa rumahmu", seru Ana terbelalak.
"Sepupuku yang membuat semuanya. Dia pulang dari Amerika, rumah ini project pertamanya"
Ana berjalan pelan mengagumi betapa detail Ari mempersiapkan semuanya. Ada dua handuk warna putih digantungan handuk kamar mandi. Juga sepasang handuk kecil. Sikat gigi baru yang belum dibuka dari bungkusnya.
"Kalau kau ingin membereskan barangmu silahkan. Aku harus keladang. Aku pulang untuk makan malam", kata Ari sambil berlalu.
Ana mengangguk dan berjalan menuju kamarnya.
"Biarkan pintu kamar terbuka. Selalu begitu kalau ada orang dirumah", pinta Ari lagi.

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang