Desa

47 4 0
                                    

May, 1994
Hari sudah pukul  12.00wib. Ana sampai disuatu tempat yang sangat jauh dari rumah. Setidaknya begitu yang difikirkannya. Tempat ini sangat terpencil. "Sempurna untuk membuang aib sepertiku", batinnya. Supir papa menurunkan Ana dan kedua kopernya.
"Mbak saya balik. Pesan bapak saya langsung balik. Takut kabut. Disini sering kabut kalau hujan kata bapak", terang pak Gino.
Salah tingkah karena tidak enak mninggalkan Ana didesa ini. Ana hanya mengangguk. Ini kali pertama papa membiarkan Ana pergi jauh sendiri. Ia merasa dibuang. Seorang lelaki paruh baya berbaju hitam terlihat menghampiri Ana.
"Karina?, anak pak Syamsul?",tanyanya sopan.
"Ya, panggil Ana saja. Pastur Jimy?", balas Ana.
"Ya, mari ikut saya. Itu saja bawannya?", pastur sigap membawanya. Ia memang tua, tapi sangat bugar. Tidak tampak keberatan.
"Sebelah sini", sahutnya sambil memberi jalan.
Mereka menaiki mobil mini van, Toyota Kijang. "Hebat juga mobilnya", pikir Ana.
"Mobil ini dibelikan anakku, keponakan", kata pastur seolah hisa membaca pikiran Ana.
Pemandangan dilalui mereka luar biasa indah. Bukit hijau, hamparan sawah di perbukitan.
"Penduduk disini rata-rata petani. Hasil bumi disini bawang, cabai, tomat, kentang", terang pastur.
"Menarik, udaranya juga dingin", balas Ana.
"Ya, jadi bisa dipastikan kami tidak kekurangan bahan makanan disini", sahut pastur menertawakan leluconnya sendiri.
Ana tertawa.  "Mereka pasti rajin".
"Besok pernikahanmu. Papamu hadir pagi. Jadi bersiplah pagi. Kau bisa menginap dirumahku", terang pastur.
"Terimakasih pastur", balas Ana.
"Sama- sama".
Ana terdiam. Mereka tahu keadaannya. Semoga tidak ada cibiran. Perutnya kembali terasa mual. Untung mereka sudah sampai. Rumahnya sangat asri. Rumah panggung. Separuh kayu, separuh batu.
"Mari masuk", sapa seorang wanita berwajah ramah.
"Ini istri saya",kata pastur.
"Karina", jata Ana sambil menjulurkan tangannya hendak bersalaman.
"Ruth, ibu Jimy", ia tertawa menyambut tangan Ana.
Wanita ini menyambutnya dengan sangat baik. Ana merasa kikuk. Mereka hamba yang taat, sedang ia pendosa. Ibu Jimy memeluknya masuk rumah.
"Ari ada didalam. Kalian bisa berkenalan",kata ibu Ruth.
Ana mengangguk.
"Aku akan melatakkan kopermu dikamar tamu. Koper besar ini boleh dibawa Ari kerumahnya?, rumah kalian?, nantinya", tanya pastur.
"Ya, silahkan. Saya boleh merapikan diri sebentar?", tanya Ana.
" Ya, ikut kami kekamarmu", kata Ruth.
Kamar tidur tamu mereka cukup luas. Tempat tidur queen size dengan selimut kotak-kotak. Lemari tua dua pintu, meja rias dan rak buku. Banyak buku keagamaan. Pastur keluar menemani Ari diruang tamu.
"Kami tidak memiliki anak. Kadang keponakan kami suka menginap disini",kata Ruth.
"Rumahnya rapi sekali", balas Ana kikuk.
"Terimakasih, kamar mandi ada dijung lorong. Saya buatkan minum dulu", balas ibu Ruth.
Ana melihat sekilas pantulan wajahnya. Cantik. Lelah. Jalan yang dilalui menanjak dan berliku. Membuat rasa mual enggan pergi. Ia merasa sedikit kedinginan. Udara gunung lebih sejuk dari Medan. Ana mengambil outer rajut miliknya. Ia menuju ke ruang tamu. Seirang lelaki berwajah serius dengan tubuh tinggi berdiri melihatnya.
"Assalamualaikum. Aku Azhari".
"Waalaikumsalam. Karina", Ana mengulurkan tangannya.
Ari hanya tersenyum. Tidak membalas jabat tangannya. Ana menarik kembali tangannya.
"Kami ke gereja dulu. Kalian berkenalan lebih lanjut", kata pastur.
"Ari, ibu ada buat lemon dingin. Baru dipetik. Enak. Kasih Ana yah", pinta Ruth.
Mereka berlalu. Hanya tinggal Ari dan Ana. Ari belum pernah melihat wanita secantik Ana. Ia kikuk. Tetapi cepat-cepat ia menundukkan pandangannya.
"Sekarang kamu sudah melihat saya. Apakah kamu masih tetap ingin menikahi saya?", tanya Ana.
"Tidak ada keraguan", balas Ari cepat.
"Apakah kamu keberatan dengan anak saya nantinya?", tanya Ana tegas.
"Tidak, aku selalu suka bayi dan anak-anak", balas Ari cepat.
"Kamu bisa mencintai anak saya?", tanya Ana lagi.
"Aku heran lelaki mana yang tega menyia-nyiakan wanita seperti kamu. Dan saya akan mencintai kalian berdua",balas Ari. 
Ia salah tingkah setelahnya. Ana merasa dadanya sakit. Rian. "Dia hanya tidak tahu saya hamil",batinnya dalam hati.
"Besok pagi jam delapan?",tanya Ana.
"Besok pagi. Saya harus balik. Merapikan rumah. Sampaikan salam saya buat pastur dan ibu", balas Ari sambil berlalu.
Ana mengangguk. Ia masuk kekamar. Membuka koper kecilnya. Mengambil peralatan mandi. Menuju kamar mandi. Air disini luar biasa dingin.  Ana menggigil setelah guyuran pertama. Dan ia muntah setelah lama menahannya. Selesai mandi, Ana minum obat anti mual. Ia tertidur setelahnya.

Cinta Orang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang