Perjalanan menuju 'The City of Love', 1998
"Hei, Karen!" ucap Jesse dari seberang meja. Lamunan Karen buyar. Selama sesaat ia baru sadar kalau sedari tadi Jesse sedang berbicara dengannya. Cairan kopi di dalam gelasnya sudah setengah kosong. Sementara itu mereka masih duduk berhadapan di gerbong nomor tiga. Selagi Jesse meninggalkan Karen untuk menelepon rekan kerjanya melalui telepon kabel yang disediakan di kereta, Karen menatap keluar jendela dengan kosong. Pikirannya berada di tempat lain, sebuah tempat di tengah kota yang dipenuhi oleh hiruk-pikuk orang banyak. Sesekali ia mengingat galerinya, kemudian dengan cepat pikiran itu buyar, digantikan dengan masalah di dalam rumah.
Putri semata wayangnya, Myra, akan masuk sekolah tahun depan. Karen harus memikirkan cara untuk membagi waktunya pada urusan pribadi dan pekerjaan. Jesse yang beberapa bulan terakhir disibukkan oleh masalah pekerjaan sangat sulit untuk diajak mendiskusikan urusan itu. Selalu saja ada pengganggu yang muncul. Pikirnya pergi ke terapis pernikahan akan membuat segalanya menjadi lebih baik, tapi Karen mulai percaya kalau itu hanya membuang-buang waktu saja.
"Aku minta maaf, tadi aku harus menghubungi Harry untuk urusan darurat."
Karen menatapnya sesaat, kemudian menunduk sembari menggelengkan wajah. "Tidak masalah, ambil waktumu."
Jesse kelihatannya punya sesuatu yang hendak disampaikan. Namun laki-laki itu malah menatap ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang tidak ada sebelum mengungkapkan isi pikirannya.
"Bagaimana Myra tadi sebelum kau meninggalkannya?" tanya Jesse untuk memecah keheningan yang mencekik. Karen kemudian mengingat momen ketika ia meninggalkan Myra di rumah adik perempuannya pagi tadi. Jesse tidak ikut karena laki-laki itu langsung berkendara menuju stasiun untuk memesan tiket dan mempersiapkan semua urusan untuk kepergian mereka selama beberapa hari. Firasat Karen mengatakan kalau itu tidak akan berlangsung lama.
"Dia sedang tidur, aku tidak tega membangunkannya."
"Tapi kau sudah mengatakan padanya.."
"Kau jangan mencemaskannya!" ucap Karen, menyela ucapan Jesse. Ia mengatakannya sembari memijat keningnya. "Semuanya terkendali."
Ekspresi Jesse berubah. Laki-laki itu kini mengerutkan dahinya dengan dalam. Ketika mengamati sikap Karen yang terkesan skeptis, Jesse berpikir kalau situasi itu perlu diperbaiki.
"Ada apa? Apa yang menganggumu?"
"Tidak apa-apa. Kenapa kau berpikir kalau sesuatu mengangguku?" lempar Karen.
"Kau tidak kelihatan senang."
Ungkapan itu membuat Karen menarik rahangnya dan tersenyum lebar. Tapi Jesse melihat dengan jelas bahwa senyuman itu tidak dimaksudkan untuk apapun kecuali sindiran halus untuk pertanyaannya.
"Kau mau aku bilang apa? Ini wajahku. Kau mau aku terlihat seperti apa?"
Jesse sudah membuka mulut untuk menanggapi ucapan Karen, tapi kemudian mengurungnya kembali dan malah berkata, "kau mau berbicara? Ayo berbicara! Ini waktu yang tepat."
"Waktu yang tepat?" Karen mengulangi.
"Ya, ini waktu yang tepat. Kenapa?"
Tidak ada jawaban. Suara desingan mesin kereta dan dengungan percakapan menggantung di sekitar mereka. Sementara Karen masih duduk disana, menunduk seolah baru saja mendengar kabar buruk.
"Karen, kenapa?" tegur Jesse.
"Kapan aku bisa tahu kalau itu adalah waktu yang tepat untuk berbicara atau sebaliknya?"
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, kau sudah begitu sibuk dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini sampai kau tidak pernah punya waktu untuk berbicara. Kenapa juga aku harus berbicara denganmu sekarang? Maksudku.. dimana kau selama ini, Jesse? Apa kau pernah meluangkan waktumu sedikit saja untuk duduk dan berbicara?"
![](https://img.wattpad.com/cover/331288952-288-k36007.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Train to The City of Love (COMPLETE)
RomantikTiga pasangan kekasih menaiki kereta yang bergerak menuju kota cinta dalam tiga waktu yang berbeda, menemukan kisah mereka bermula dan berakhir dalam perjalanan yang sama. _ Mary dan John, dua pemuda asing yang dipertemukan secara tidak sengaja, me...