14. Jealous 2

832 62 8
                                    

Haechan membuka tirai apartemennya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari masuk melalui celah ventilasi. Koper-koper teronggok bisu di samping sofa ruang televisi, siap untuk dibawa terbang ke New York siang ini. Haechan menatapnya, lalu mengedarkan pandang ke seisi ruangan. Ia akan meninggalkan tempat itu dua minggu kedepan, sesuai jadwal jika memang tidak ada perubahan mendadak nantinya.

Namun begitu, hatinya masih terasa ganjil. Ada sesuatu yang membuat ia berat meninggalkan negara itu meski hanya untuk waktu yang singkat. Ia masih tidak tahu mengapa Giselle belum juga membalas pesan-pesannya. Hanya ada tanda terkirim. Tanda itu belum berubah sejak kemarin siang.

Rasa cemas itu terlihat dari mata Haechan. Ia merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit bercat putih polos dengan lampu gantung di tengah ruangan. Sesekali menatap pintu yang tertutup rapat, berharap keajaiban itu datang. Berharap seseorang akan membunyikan bel-seseorang yang amat ia sayangi.

Baru saja Haechan menghubungi Karina untuk menanyakan kabar Giselle, namun gadis yang dicari Haechan itu tidak ada di rumahnya. Karina mengatakannya dengan yakin, gadis itu tidak ada di rumah sejak pagi-pagi sekali.

Haechan mengusap wajah dengan gusar, memerosotkan tubuhnya semakin dalam ke sofa itu. Matanya mengerjap berkali-kali memikirkan apa penyebab Giselle memiliki sikap aneh seperti ini. Haechan akui, ia belum pernah meresmikan hubungannya dengan Giselle. Sejak Masquarade Party, mereka memang belum bisa menghabiskan waktu berdua saja.

Haechan maklum, kehidupan menjadi idola kadang membuat mereka terlalu sibuk untuk mencetak karir. Sibuk membahagiakan orang lain, terkadang lupa untuk kebahagiaan sendiri.

Bel apartemen menyadarkan Haechan dari lamunannya. Ia tersingkap, bangkit dari sofa itu. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Jantungnya berdebar saat melangkah menuju pintu. Separuh hatinya sangat berharap gadis itu datang, mengilangkan semua kecemasan yang tergantung di pikiran Haechan.

"Kak Haechan."

Suara nyaring itu terdengar saat Haechan membuka pintu. Orang itu tersenyum kaku, menyerahkan bingkisan dengan bungkus berwarna biru muda ke tangannya. Haechan mengangkat kedua alis, menatap heran ke arahnya

"Anggap saja itu balasanku untuk traktiranmu kemarin, Kak." Ryujin, dia meremas jarinya untuk mengusir sedikit rasa gugup.

Haechan tertawa hambar. Ia menyodorkan kembali sesuatu yang telah diterimanya itu pada Ryujin. "Kau seharusnya tidak perlu repot-repot."

Ryujin menggeleng dan mendorong lengan Haechan. "Justru aku tidak repot, Kak. Kudengar, kau akan pergi ke luar negeri. Jadi kubawakan vitamin dan beberapa protein di dalam sini."

Haechan melihat bingkisan itu dan tersenyum kaku. "Baik, terimakasih. Aku tidak bisa menolak pemberian tamuku."

Ryujin tersenyum canggung dan mengeratkan pegangannya pada tas bahu.

Hening beberapa saat, mereka masih berdiri di depan pintu apartemen Haechan. Koridor itu lengang. Haechan lalu memutuskan untuk menjamu tamunya itu sebelum pergi.

"Tidak usah, Kak. Aku akan langsung pulang saja," Ryujin berseru memotong tawaran Haechan.

Haechan mengangguk singkat. Hanya itu.

Ryujin ragu-ragu untuk membalikkan badannya. Ia menelan ludah, menyeka tipis butir air yang terjun di pelipisnya. Jika saja semudah itu, ia pasti sudah mengatakannya daritadi. Kata-kata yang sudah dipersiapkannya pasti akan mengalir lancar jika sekadar latihan saja. Tapi kali ini berbeda, Haechan benar-benar ada di hadapannya.

Ryujin menarik napasnya dalam-dalam. "Kak, maaf jika kau menganggapku lancang karena mengatakan ini, tapi aku ingin sekali seseorang yang aku cintai mengetahui perasaanku."

Haechan menatap Ryujin, tidak menjawab.

"Aku tahu kau menyukai gadis lain. Tapi aku juga ingin kau tahu bahwa ada seseorang yang menyukaimu dengan tulus, meski ia tidak bisa bersamamu sampai kapanpun." Ryujin menatap Haechan, tersenyum untuk terakhir kali. "Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali sebelum aku benar-benar pergi?"

Haechan terdiam. Lagi-lagi dia hanya membisu, tidak menjawab sepatah katapun. Maka Ryujin menganggap itu sebagai kebolehan. Ia maju, memeluk Haechan sebentar. Tangannya menyentuh punggung, yang ternyata tidak pernah bisa menjadi sandaran hidupnya.

Ryujin mengucapkan salam perpisahan lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Haechan bergeming. Disaat ia menunggu seseorang, ternyata ada orang lain yang sedang menunggunya. Takdir memang rumit. Ia hanya berharap semoga Ryujin bisa mendapat lelaki yang lebih baik darinya. Yang bisa membalas cinta setulus itu.

•••

Giselle menatap bangunan bertingkat di hadapannya. Matahari sudah beranjak naik, membuat bangunan itu memantulkan cahaya kekuningan. Giselle merapatkan topinya lalu beranjak memasuki bangunan itu. Sebuah apartemen dengan tinggi dua puluh enam lantai bernuansa elegan.

Giselle sudah mencoba berpikir rasional. Semalam, ia memikirkan tentang kejadian saat di toko pernak-pernik kemarin. Ia tidak bisa mengambil kesimpulan begitu saja tanpa tahu sisi lain dari ceritanya. Ia mencoba berpikir positif dan mengambil keputusan secara bijak. Karena itulah hari ini dia memutuskan untuk bertemu Haechan.

Di lobi apartemen, Giselle tidak banyak melihat kehidupan disana. Hanya terlihat satu dua orang sedang menikmati teh hangat dengan bersilang kaki. Mata mereka fokus menyapu berita-berita yang ditampilkan dari koran, tidak sadar dengan kehadiran Giselle. Apartemen itu dihuni oleh orang kelas atas sehingga kehidupan tidak akan terlihat selain pada libur akhir pekan.

Tiba di lift, Giselle menekan tombol dengan tulisan angka tujuh. Hanya dia seorang diri yang berada di dalam benda berbentuk kubus itu. Giselle memainkan jarinya, mengetuk-ngetuk dinding lift untuk mengurangi keheningan. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar memunculkan perasaan tidak enak. Apa yang akan Haechan katakan nanti? Apakah jawabannya akan bisa meyakinkan hati Giselle bahwa semua itu hanyalah kebetulan saja?

Atau, apakah setelah ini hubungannya dengan Haechan akan berubah?

Giselle mengatur napas, menutup matanya dan membiarkan semua pikiran buruk itu pergi. Ia sudah menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Haechan, tidak mungkin bukan lelaki itu akan menghianatinya?

Giselle tahu, hari ini Haechan akan pergi ke New York. Ia tidak ingin ada masalah yang mengganggu selama mereka berpisah. Itu akan menjadi hari-hari sulit untuk Giselle. Apalagi dengan sifat Giselle yang tertutup, lambat laun akan menjadi masalah yang serius.

Lift berdenting. Daun pintu terbelah menjadi dua menampilkan koridor lantai tujuh dengan beberapa pintu teronggok bisu. Di depan pintu urutan ketiga dari arah Giselle, ia mendapati seseorang-bukan, lebih tepatnya dua orang-sedang berbincang. Sang gadis tiba-tiba saja memeluk lelaki itu, merengkuh punggungnya. Giselle memperhatikannya lamat-lamat, melihat betapa halus belaian gadis itu. Saat gadis itu melepas pelukannya, ia terkejut. Beberapa kali Giselle mengerjap, berharap ia akan segera bangun dari mimpi buruk, namun suara lift tertutup segera menyadarkannya.

Sosok yang sama dengan yang ia lihat di restoran kemarin.

Pintu lift kembali tertutup, berdesing pelan lalu turun kembali ke lantai utama bersama Giselle yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Namun, semua itu memang benar-benar nyata adanya. Beberapa saat yang mencengangkan itu membuat Giselle tidak bisa berpikir apapun lagi.

Beberapa detik lengang. Saat pintu terbuka kembali, Giselle berlari secepat mungkin untuk keluar dari gedung apartemen itu. Terlepas ia percaya atau tidak, tapi apa yang dilihatnya memang benar-benar terjadi.

Untuk kedua kalinya, ia merasakan rasanya patah hati dengan seorang lelaki bernama Haechan Lee.[]

*

Terimakasih yang udah vote dan komen♡♡
Maaf menghilang berminggu-minggu:)) semoga habis ini update nya bisa rutin ya💞

B(L)ACKSTAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang