Setelah Haechan pergi, Giselle menghabiskan hari-harinya di ruang latihan. Ia belajar banyak koreografi baru, skill dance terbaru, apasaja selama hal itu bisa memenuhi isi kepalanya, membuatnya sibuk sampai lupa waktu. Ia tidak ingin terlalu kalut dalam masalah itu. Ia ingin memberi jarak sejenak, menjernihkan pikirannya kembali. Mengembalikan kekuatan dan menyiapkan hatinya jika pada akhirnya ia benar-benar harus kehilangan seseorang yang amat berarti.
Ini hari ketiga Giselle hanya menghabiskan waktunya di ruang latihan. Terkadang ia juga jalan-jalan keluar untuk sekadar mencari angin atau berbelanja untuk mengusir rasa bosan. Sudah tiga hari juga Karina terus-menerus menanyakan keadaan Giselle. Ia bilang, Haechan terus menghubunginya. Giselle hanya menjawab dengan senyum datar, berkata semuanya baik-baik saja. Ia hanya tidak ingin diganggu sementara waktu. Hanya itu.
Karina berkali-kali menghela napas setiap mendengar jawaban Giselle. Ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, tapi Karina tidak tahu apa pastinya. Setiap ia bertanya pun Giselle hanya tersenyum singkat dan mengatakan bahwa itu bukan masalah besar. Karina sebagai perantara itu akhirnya hanya menyampaikan apa adanya pada Haechan. Ia bertanya pada lelaki itu, mungkinkah telah melakukan kesalahan pada Giselle, namun Haechan menjawab ia tidak merasa melakukan sesuatu yang salah.
Karina mengambil earphone nirkabel dan memasangkannya ke daun telinga. Ia mulai berlari kecil di atas treadmill. Tidak ada hal menarik yang bisa dilakukannya di ruang latihan kecuali melihat Giselle yang belajar koreografi. Akhirnya ia memutuskan untuk membugarkan badannya di ruang gym. Ruang itu terletak di sebelah barat ruang latihannya. Ada beberapa alat yang memadai untuk membentuk otot tubuh. Sesekali Karina juga berpapasan dengan artis lain, menganggukkan kepala sambil tersenyum singkat.
Setelah dua puluh menit berada di atas treadmill, Karina memperlambat ketukan kakinya dan mulai turun dari benda itu. Ia mengambil handuk putih dan mengelap butir peluh yang bercucuran. Setelahnya, ia menghabiskan setengah botol minuman sari lemon yang menyegarkan sambil duduk menghadap dinding kaca yang menampilkan kehidupan Kota Seoul.
Ponsel Karina berdering di sebelahnya. Saat dilihat, ada panggilan video masuk dari Jeno. Senyum Karina mengembang. Selama tiga hari ini, susah sekali ia menyesuaikan jadwalnya dengan Jeno mengingat waktu Seoul dan New York berbeda empat belas jam. Jika sekarang pukul sembilan pagi, maka disana sudah hampir tengah malam, pukul sebelas.
Karina mencari tempat sepi mengingat masih ada beberapa orang di ruang gym itu. Ia tidak mau terlalu jelas memperlihatkan hubungannya dengan Jeno. Karina lalu mengangkatnya. Wajah Jeno muncul di layar, memperlihatkan senyum khasnya yang membuat kedua matanya tenggelam. Karina pun tertawa. Lucu jika melihat Jeno menggunakan piyama dengan poni yang diikat teracung ke atas.
Jeno menyapa Karina, Karina balas menyapa dengan riang. Karina menanyakan kabar pemuda itu, bagaimana dengan jadwalnya di New York. Jeno menjawab bahwa jadwalnya akan lebih padat besok. Mereka hanya diberi libur dua hari, itupun sebelum kepulangan mereka. Benar-benar hari yang sibuk dan melelahkan.
"Tidak apa. Kau bisa mengambil cuti satu minggu setelah pulang nanti, bukan?" Karina bertanya, berusaha menyemangati Jeno.
Jeno mengangguk. Ia memperhatikan Karina sejenak. "Apa kau sedang berolah raga? Bajumu terbuka sekali." Jeno menggeleng-geleng.
Karina menatap pakaiannya. Benar, ia sedang mengenakan baju tanpa lengan. Karina menyeringai dan menatap layar itu kembali. "Akan kuganti setelah ini. Tadi aku bosan hanya melihat Giselle latihan."
Jeno tertawa dan melambaikan tangan di udara kosong. Setelahnya, layar itu menjadi pecah-pecah dan sambungan telepon pun tertutup. Jaringan lintas benua memang terkadang tidak stabil. Karina menghela napas. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka menjalin komunikasi tapi sudah harus berakhir begitu saja.
Karina bahkan belum menanyakan kepada Jeno apakah dia bisa membujuk sahabatnya, Giselle, untuk bercerita tentang masalahnya atau tidak.
•••
Waktu melesat dengan cepat. Hampir dua minggu Jaemin dan teman-temannya pergi ke luar negeri. Hampir dua minggu pula Jaemin merepotkan hati Winter yang sangat ingin bertemu dengannya. Dua hari lagi, Winter tidak sabar akan menemui Jaemin.
Akhirnya, Winter tidak terus-menerus berbicara dengan layar datar, seperti saat ini. Yang sedang ia lakukan adalah melakukan panggilan video dengan Jaemin di kamar tidurnya. Jaemin terlihat sedang berjalan-jalan di New York, menghabiskan hari liburnya dengan keluar hotel, mengunjungi beberapa spot ikon yang terkenal disana. Winter menatap keluar. Hari sudah gelap disini. Tapi di tempat Jaemin, matahari bersinar terik.
Jaemin sedang duduk menghadap sungai jernih di tengah kota bersama Renjun. Menikmati udara segar New York sambil melihat burung merpati bertengger di tiang-tiang lampu. Sesekali para turis memberi burung-burung itu makanan. Melemparkannya di tempat kosong dan para burung itu akan mengerumuninya.
Karena sedang bersantai, Jaemin ingin menghubungi gadisnya sejenak. Memastikan bahwa senyum manis itu masih terhias di wajahnya yang cantik. Dan benar saja, senyum itu masih ada di sana dengan garis wajah yang sama dengan yang diingat Jaemin.
"Jaemin."
"Hm?" Jaemin menjawabnya dengan sedikit mendekatkan ponsel ke wajah lalu memperbaiki posisi duduk. Ia bersiap mendengar cerita Winter untuk yang ke ratusan kali selama ia pergi. Gadisnya memang suka bercerita banyak, tentang apapun.
"Kau tahu isu yang beredar di agensi? Tentang kolaborasi antar artis di album Winter SMCU Palace akhir tahun?" Winter bertanya, memastikan apakah hal itu sudah terdengar sampai telinga Jaemin atau belum.
"Oh, aku sudah mendengar sedikit bocorannya bahkan sebelum aku pergi." Jawaban Jaemin justru membuat Winter sedikit kecewa. "Ada apa dengan wajahmu?" tanya Jaemin akhirnya.
Winter menarik bantal, merebahkan dirinya di kasur. Ia meletakkan ponsel di depan wajah dengan gestur yang masih cemberut. "Kau benar-benar tidak tahu, Na?"
Jaemin mengerutkan dahi, terlihat berpikir. "Hm... tentang?"
"Kau benar-benar belum tahu, ya? Astaga." Winter menepuk dahinya pelan. "Kau belum tahu hot news nya?"
"Apa?" Jaemin semakin penasaran.
"Kita akan satu unit, Na Jaemin! Kita akan punya lagu bersama! Kita akan collab!" Mata Winter hampir keluar saking bersemangatnya mengatakan itu.
Mata Jaemin berbinar dan senyumnya melebar. "Kau serius?"
"Kau pikir aku bercanda, hah?!" Winter terlihat bersungut. Wajahnya langsung tertekuk mendengar perkataan Jaemin tadi.
Jaemin tertawa. Perkataannya memang konyol. Pantas membuat Winter jadi bereaksi seperti itu. Mempunyai lagu dengan pasangan sendiri rasanya benar-benar sebuah ide yang tidak pernah terpikir oleh Jaemin.
"Lucu sekali," ujar Jaemin.
Winter mengerutkan dahi. "Apa?"
"Wajahmu itu, Minjeong. Lucu sekali. Ingin kucubit."
Pipi Winter bersemu merah. Ia melotot pada Jaemin dan segera mematikan sambungan telepon itu. Jaemin pasti akan meledeknya jika mengetahui wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.[]
Terimakasih yang udah vote dan komen♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
B(L)ACKSTAGE
FanfictionAda yang berusaha menutupi rahasia demi keadaan yang berjalan sesuai rencana. Ada yang berusaha menutupi rasa cinta demi karir yang melonjak sempurna. Ada juga yang berusaha menghibur orang lain tanpa tahu cara menghibur diri sendiri. Ini adalah sis...