Bagian 22

1.8K 168 7
                                    

Katya termenung lama di meja makan setelah mendengar penjelasan Meta di depannya. Bu Dyah yang juga ikut mendengar hal itu tampak tidak tenang. Seakan kesembuhan Katya sekarang hanya sebuah kefanaan.

"Jadi aku nggak benar-benar sembuh, Ta?" gumam Katya mengusap matanya yang perih berkaca-kaca.

"Kalung itu hanya menjaga dari makhluk yang menganggumu itu, Ya, tidak menghentikan perjanjian atas penumbalan dirimu."

Katya melihat kalung yang ia pegang. Meta suda memberi tahunya jika kalung itu berasal dari Zidan. Jadi jika bukan Zidan pelakunya, siapa yang telah menumbalkan Katya? Lalu kenapa Zidan selalu hadir di dalam mimpinya? Sungguh itu teka-teki yang belum bisa ditemukan jawabannya oleh Katya.

"Aku sudah memfitnah Zidan, Ta. Mas Dani, Mas Rian, mertuaku, semuanya pasti menuduh Zidan," ujar Katya dengan perasaan bersalah. Katya kemudian menoleh kepada ibunya. "Apa Pak Rudi bisa dimintai tolong untuk mencari pelakunya, Bu?"

Katya belum tahu bahwa Pak Rudi meninggal setelah menolongnya. Bu Dyah menggeleng pelan, wajahnya benar-benar tampak cemas.

"Beliau udah nggak ada, Ya, sepulangnya beliau dari sini, Ratu bergaun merah yang kamu jelaskan malam itu mengejarnya. Dia meninggal di rumahnya siang itu juga," jelas Bu Dyah dengan rasa bersalah.

Seketika saja air mata Katya jatuh tanpa bisa ia tahan. Gadis itu menggeleng dengan lemah tak percaya, tak mengira orang yang menolongnya malam itu telah menjadi korban atas penumbalannya.

"Itu nggak benar kan, Bu? nggak mungkin Pak Rudi meninggal karena aku," ucap Katya menolak pernyataan ibunya.

"Masmu sendiri yang bilang, Ya. Dia menjemput Pak Rudi ke rumahnya, tapi beliau udah meninggal."

Meta melihat kepada Katya yang kembali tampak ketakutan sekarang. Seakan benar-benar tidak ada yang bisa menolong dirinya.

"Ya, coba kamu ingat-ingat, apa kamu punya masalah sama orang lain? apa ada orang yang kamu curigai? atau mungkin kamu pernah bertemu orang-orang yang gerak geriknya mencurigakan."

"Aku nggak mau memfitnah siapapun, Ta," jawab Katya dengan air mata mulai menetes. "Aku sudah menuduh Zidan, tapi nyatanya dia yang menolongku."

"Atau mungkin suamimu punya musuh di tempat kerjanya?" Meta mencoba memberikan arahan akan segala kemungkinan.

"Ta ..." potong Katya, "aku nggak pernah ikut campur dengan pekerjaan Mas Rian. Ngumpul dengan orang kantornya saja hanya sesekali, bagaimana mungkin mereka menumbalkanku untuk kepentingan mereka?"

Pada akhirnya, tidak ada kesimpulan yang bisa mereka dapatkan. Sebelum sore Meta sudah pamit pulang. Ia sempat berpapasan dengan Rian yang baru pulang melihat rumah barunya. Mereka sempat bertegur sapa. Rian masuk ke dalam rumah, sementara Meta pamit pulang dan mengendarai motornya untuk pergi. Di dalam rumah, Rian melihat Katya dan Bu Dyah tengah duduk di meja makan. Ia segera menghampiri mereka, melewati Faris yang tengah menonton TV seraya membuat PR di ruang tengah.

"Ada perlu apa Meta ke sini, Ya?" tanya Rian.

Katya tersenyum melihat suaminya. Kalung berbatu putih yang ia pegang segera disembunyikannya ke dalam saku baju—Katya tidak ingin Rian tahu bahwa ia memegang kalung dari Zidan, takut suaminya itu cemburu jika ia menyimpan barang pemberian laki-laki lain.

"Bahas masalah kesehatanku, Mas," jawab Katya.

"Apa masih ada masalah, Ya?" tanya Rian memastikan.

"Kata Meta kesembuhanku ini hanya sementara, jika masalah tumbal itu belum dituntaskan, maka cepat atau lambat, aku pasti jadi korbannya, Mas," ucap Katya yang kembali merasa sedih dengan keadaan, suaranya gemetar dengan air mata yang lagi-lagi menetes dari pelupuk matanya. Sungguh ia tak kuasa mengucapkan kalimat barusan.

Doa Penyelamat Tumbal (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang