Prolog

969 82 14
                                    

Di sebuah desa di bagian utara, dulu sekali.

"Jangan dekati manusia, sembunyilah.
Jangan melawan mereka, kecuali terpaksa."

Setiap anak dari bangsanya yang cukup tua untuk mengingat tahu itu. Para ibu membisikkannya ke telinga bayi mereka bahkan sebelum bayi itu bisa membuka mata. Tak hanya sekali, terkadang pepatah itu diulang setiap hari, setiap malam, seperti lagu pengantar tidur hingga sang ibu yakin buah hatinya mengerti, hingga anak itu paham bahwa melanggarnya berarti ada bahaya menanti. Serigala, singa, buaya一dia diberitahu bahwa hewan-hewan itu tak ada apa-apanya. Hati-hati, Nak, ibunya dulu berkata, manusia adalah makluk yang lebih kejam dari seluruh hewan-hewan itu digabungkan. Kemudian kakaknya, ketika dia lebih dewasa, jangan pernah ragu jika kau harus membunuh, Jeno.

Dia mengecap kebenaran kata-kata mereka ketika sudah terlambat.

Dan siapa yang harus disalahkan di sini? Pemuda itu merenungkannya, selagi seorang manusia laki-laki kekar menjejalkan segumpal kain gombal ke mulutnya一jangan teriak, mahluk aneh一dan laki-laki lain memanaskan arang. Kini tak hanya penglihatannya, fungsi mulutnya juga diambil paksa. Rantai besi tebal menjaga pemuda itu tetap di tempat, masing-masing melingkari pergelangan tangan dan membakar kulitnya semakin lama semakin parah. Di sekitar kakinya, berserakan helaian-helaian rambut hitam yang berbaur dengan kotoran ayam.

Dulu, tempat ini merupakan rumah bagi puluhan atau ratusan ayam; bau mereka masih menempel di langit-langit, bulu-bulu mereka ada yang melekat di dinding. Dulu, sebelum manusia-manusia itu memutuskan tempat ini sempurna untuknya. Bagi manusia yang tidak menganggapnya lebih dari sekadar makhluk aneh, roh hutan terkutuk, dan sesekali hiburan yang menyenangkan, dia tak butuh fasilitas mewah. Jadi dia dilemparkan kemari, pertama-tama diuji dengan rantai besi. Berikutnya kegelapan一kain gombal yang sama yang menutupi matanya. Lalu kelaparan. Kehausan. Semata-mata agar dia bicara.

Sejauh ini mereka belum berhasil; dia bertekad bahkan dalam kematiannya, mereka tidak akan pernah berhasil.

Pemuda itu bertanya-tanya, ke manakah ayam-ayam itu sekarang; dipindahkan ke peternakan lain, atau tergeletak di atas piring? Hanya karena memikirkan ayam yang dia renggut rumahnya lebih mudah ketimbang nasibnya sendiri. Dia mencoba abai. Dia mencoba tidak peduli. Namun keduanya sulit dilakukan sebab dia tahu apa yang akan terjadi.

Salah satu kelebihan bangsanya adalah indra yang sangat peka. Dia mendengar derak pelan arang yang menjaga api tetap berkobar. Dia mencium baunya. Dan dia tahu, dengan kepasrahan yang menyedihkan, bahwa setelah ini dia akan mengalami sesuatu yang lebih menyakitkan daripada rambut yang dipotong asal-asalan menggunakan pisau yang melukai kulit kepalanya.

Pemuda itu menelan ludah mempersiapkan diri; dia sungguh mempersiapkan diri, tetapi tatkala tongkat besi yang ujungnya merah membara itu bersinggungan dengan punggungnya, dia tetap saja tersentak kaget, lalu ngeri. Punggungnya seketika melengkung. Bau daging terbakar menyeruak ke udara, disusul anyir darah dari kulitnya yang terkelupas.

Besi selalu menjadi material yang beracun bagi bangsanya. Pembunuh paling cepat, maut yang kasatmata. Panas dari besi itu menghanguskan pakaiannya, meresap ke otot-otot, dan seolah melelehkan tulang-tulangnya. Ini lebih dari yang sanggup dia tahan. Jari-jarinya pun mengepal. Sangat panas. Ungkapan rasa sakitnya diredam oleh kain di mulutnya. Terlalu panas.

"Di mana dia?" Laki-laki ketiga, yang sejak tadi diam saja, bertanya. Suaranya lembut, sopan alih-alih membentak, sesuai dengan sosoknya yang jangkung dan terpelajar. "Di mana pria itu?"

Pemuda itu menggeleng.

Besi ditekankan semakin dalam, kali ini di titik yang berbeda. Lebih banyak darah yang menetes membentuk aliran sungai. Dia meronta-ronta, putus asa ingin bebas一baik dari rantai, atau kehidupan. Ritme napasnya kacau, keluar-masuk tak beraturan.

Her Seven Lies ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang