"Ayah?"
Bilah tajam kapak berkilau tertimpa cahaya matahari, lalu terayun mantap membelah gelondongan kayu jadi dua, tepat di tengah.
"Ayah!"
Yoo Minjoon meletakkan kapaknya di tanah, lantas meregangkan punggung dan mengusap keringat di dahinya. Di kakinya, terdapat potongan-potongan kayu yang dia persiapkan untuk musim dingin yang akan datang. "Ya, Tuan Putri?"
Putrinya tersenyum. Selalu begitu saat dipanggil dengan nama tertentu. Jimin di usia sembilan tahun, duduk di bangku di halaman rumahnya dengan selendang biru ibunya yang melilit lehernya. "Ada apa dengan ibu?"
"Ada apa dengan ibu?"
Jimin memberengut. "Ayah, jangan bercanda. Ayah tahu maksudku. Akhir-akhir ini ibu terus batuk dan tidur lamaaa sekali. Apa ibu sakit parah?"
"Dia ...." Kapak yang Minjoon gunakan memantulkan ekspresinya yang resah. Matahari kala itu bersinar terik, tetapi Minjoon tidak tahu yang manakah yang membuatnya berkeringat antara matahari itu atau pertanyaan putrinya. "Ibu akan baik-baik saja." Dia meringkas. "Ibu hanya sedikit kurang sehat." Cari aman一siasat yang akrab bagi Jimin setelah dewasa.
"Sudah coba memberi ibu jahe? Aku bisa membelikannya. Jika dicampur dengan serai, khasiatnya akan bertambah."
Sang ayah tertawa. "Dari mana kau mengetahuinya?"
"Buku Sungchan. Dia yang membaca," imbuh Jimin cepat-cepat. "Sungchan menjadi lebih pandai sekarang. Dia bisa membaca sangat fasih. Koleksi bukunya juga banyak. Sekarang ini Sungchan sedang belajar tentang pengobatan. Apa ayah tahu ekstrak daun jinshil¹ bisa membuat manusia dan hewan apapun tertidur meski hanya beberapa tetes?" Jimin berbaring di bangku, pura-pura mendengkur, lalu menatap tajam ayahnya. "Buku itu menakjubkan. Tolong belikan aku satu, Tuan Minjoon yang tampan."
"Rayuan, rayuan." Minjoon berdecak. Dia menghampiri Jimin dan mengepalkan tangan di atas perutnya. "Siapa nona cantik ini dan kenapa dia sangat mahir merayu pria? Apa ini Jimin kecilku? Coba lihat apa yang Ayah punya. Mungkin ini buku."
Pelan-pelan Jimin menepuk kepalan tangan ayahnya, mundur seraya menggigit bibir, dan menjerit kegirangan kala Minjoon menggelitiknya hingga hampir jatuh dari bangku. Pipi Jimin berubah semerah apel yang matang. Dia menggeliat. Namun selalu, ketika sedikit lagi jatuh, Minjoon menangkapnya di saat yang tepat dan memeluk Jimin, mengurungnya dalam jenis rasa nyaman yang tak bisa dia temukan pada siapa-siapa bertahun-tahun kemudian. Jimin merasakan kecupan di puncak kepalanya.
"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan pula dunia ini yang tidak ramah pada perempuan. Bahkan walau Ayah punya uang, Ayah tak yakin ada cara agar kau bisa belajar seperti laki-laki."
"Karena perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan itu bodoh."
"Siapa yang mengatakannya?"
"Guru Sungchan saat mendengar Sungchan mengajariku." Jimin mendongak dalam dekapan Minjoon. "Setelah itu Sungchan marah dan tidak mau menemuinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
ФанфікиPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...