Gadis itu lahir dan besar di sebuah desa di Utara, bukan dunia mimpi tempat kau menganggap semua orang berhati baik.
Tempatnya terpencil, sangat sederhana. Bahkan mungkin tidak tercantum dalam sebagian besar peta. Penduduknya tidak terkenal karena keahlian yang mencolok. Tidak ada petani persik jempolan atau peternak bebek yang dagingnya berkualitas tinggi. Di sini, mereka memang bertani dan beternak, tapi hasilnya hanya cukup untuk menyuapi mulut mereka dan dijual pada tetangga. Lahannya terbatas. Orang-orang juga bisa sangat menahan diri jika itu yang mereka inginkan. Kalau kebetulan cuaca buruk dan hasil panen tidak bagus, mereka terpaksa harus melakukan transaksi di desa sebelah yang jaraknya beberapa hari perjalanan.
Sebab tidak ada yang mau mengambil apapun dari hutan terkutuk.
Ada banyak nama untuk menyebut hutan itu; hutan terkutuk, hutan para iblis, hutan kematian. Nama aslinya sudah lama terlupakan. Gadis itu paling suka yang pertama, kendati menurutnya yang paling tepat adalah sarang monster. Konon, siapapun yang masuk ke sana takkan bisa pulang. Mereka yang pulang takkan pernah jadi orang yang sama. Kabutnya dapat membutakan penglihatanmu. Hewan buas di sana akan menjadikan ususmu kalung baru atau kudapan. Seorang tukang tenung berusia ratusan tahun juga dipercaya bermukim di dalamnya.
Gadis itu meninggalkan keranjang kayunya di perbatasan desa, agak tersembunyi di antara timbunan dedaunan. Bila beruntung, keranjang itu tidak akan kemana-mana. Bila tidak ... yah, berarti ada seseorang yang memperoleh tambahan uang atau memanaskan perapian. Dia tidak peduli: keranjang itu rusak. Keranjang itu juga sudah melaksanakan tugasnya.
Setelah sekali lagi berusaha membersihkan hanbok-nya一dan sia-sia一serta merapikan pita rambutnya, dia memasuki desa sambil menundukkan kepala. Benaknya terus berputar. Hutan terkutuk? Omong kosong. Yang ada hanya makhluk-makhluk bertelinga runcing sialan itu! Merekalah monsternya. Orang-orang aneh yang mengira boleh memberi harga pada nyawa manusia一lalu menghargainya sangat murah. Gadis itu mengatupkan mulutnya. Omong kosong. Dia tahu apa yang bersembunyi di antara kerimbunan pepohonan hutan itu.
Tak sedikit yang menyapanya ketika dia melintas. Kaum wanita menanyakan kondisi pakaiannya, yang dia jawab dengan sejumput kebenaran一aku terjatuh, ceroboh, seperti biasa一kaum laki-laki bermain mata. Gadis itu menanggapi seperlunya. Pada masa itu, gadis-gadis diharapkan bersikap patuh dan rendah hati. Tunduk saja. Jangan berlagak. Dia tidak suka keduanya. Namun dia bisa berpura-pura. Gadis itu tersenyum pada mereka, menawarkan senyumnya seperti gula-gula, selalu memiringkan kepala pada sudut yang pas yang akan membuat banyak hati berdebar-debar. Sebenarnya, dia sangat pandai berpura-pura.
Di dekat pasar, gadis itu berbelok ke sebuah gang kecil, dan bergegas menghampiri sebuah rumah yang dibangun berjarak dari rumah lain. Seperti gigi susu pertama seorang anak yang tumbuh一tak ada apapun di sekelilingnya selain tanah yang bertonjolan tidak rata, akibat gerobak atau kereta kuda. Bulan bersinar lemah, menyiram gadis itu dengan cahaya keperakan. Di depan, rumahnya bersinar dengan jenis cahaya yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
Fiksi PenggemarPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...