"Dulu aku bekerja di sini."
Orang yang diajak bicara diam saja.
"Kau tidak percaya?"
"Mengapa aku harus mempercayaimu sekarang, Karina?"
Yoo Jimin berjalan mengitari sel sempit di hadapannya, sembari menyapukan jemari di sela-sela batang besi yang menancap kuat ke tanah. Tiap batang besinya yang tebal diatur dalam jarak rapat yang akan menyulitkan siapapun untuk sekadar meloloskan tangan, terlebih dipanjat atau didobrak. Kuncinya hanya satu, dan sang pemegang kunci tidak pernah dekat-dekat dengan si tahanan. Lebih tepatnya, Sungchan tidak mau. Jimin menghentikan langkahnya. "Karena itu benar."
Si tahanan, Jeno, duduk dan menunduk. "Untuk sekali ini?"
Jimin tersenyum samar. "Kau pasti sudah mengenal Sungchan; keluarganya adalah pemilik peternakan terbesar di desa ini, berikut kandang ayam yang kini kau huni. Setiap pagi aku bertugas memberi makan ayam-ayam dan mengumpulkan telur mereka, sekaligus bersih-bersih. Aku juga melayani pengiriman ke restoran yang memesan. Mereka akan memberiku tambahan uang kalau aku mau memotong-motong ayamnya. Pekerjaan yang kotor memang. Begitulah caraku bertahan hidup selama ini."
Tak ada setitik pun jejak keceriaan dalam senyum balasan Jeno. "Kekasihku, celakaku, kau terbiasa berbohong bahkan untuk hal-hal yang tidak diperlukan."
"Mungkin karena terkadang itu lebih mudah?" Jimin mengangguk sendiri. "Jika kubilang aku membunuh hewan supaya bisa makan, kau pasti mengira aku terbiasa pada kekerasan, padahal aku ingin kau melihatku sebagai gadis yang polos. Gadis yang tidak berbahaya. Itu sebabnya setiap kali kita bertemu aku selalu mandi, memastikan bagian bawah kukuku bersih dari darah. Sedikit merepotkan, tapi denganmu, aku lebih suka bermain aman."
Dengan lelah Jeno bersandar di bagian sel yang terbuat dari kayu. Matanya hanya separuh terbuka. Rantai besi yang pernah diikatkan di pergelangan tangannya meninggalkan bekas terbakar di sana yang tak hilang kendati rantai itu telah dilepaskan. "Aku pasti mangsa yang membosankan bagimu. Singa betina¹ pun barangkali akan kecewa jika buruannya tertangkap terlalu mudah."
"Sejujurnya kau tidak semudah itu."
"Sejujurnya aku muak mendengarmu berkata sejujurnya, Karina."
"Bagaimana jika kubilang aku menerima pesan dari Aeri siang ini? Apa itu bisa menghiburmu?"
Kepala Jeno otomatis mendongak.
Sengaja, Jimin berjongkok di sudut yang akan memudahkan mereka bertatapan. Dia merogoh saku di lipatan rok hanbok-nya yang dimodifikasi², mengeluarkan sebutir apel. Di depan wajah Jeno, dia membelah apel jadi dua memakai belati pemuda itu, dan menyelipkannya ke dalam sel. "Kalau kau mau tahu, makanlah dulu."
"Apa pedulimu kalau aku mati kelaparan?"
"Aku peduli padamu一entah kau percaya atau tidak. Dan aku harus menemui Aeri dalam setengah jam. Jadi, makanlah. Kau suka apel kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
FanfictionPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...