Desa kecil manusia itu tampak seperti dunia yang berbeda dilihat dari hutan.
Arsitekturnya lebih sederhana. Kesan asingnya terasa, memancar bersama daya tarik misterius yang sulit dijelaskan. Di siang hari, tempat itu ramai. Namun belum juga tengah malam, sudah tidak banyak yang berkeliaran. Malah, koreksi Jeno, hampir tidak ada. Tatkala Jeno memanjat ke salah satu dahan pohon tertinggi di tepi hutan, yang dilihatnya hanyalah atap rumah-rumah warga dan jalanan yang lengang. Jeno duduk dengan kaki terjulur mengikuti pertumbuhan cabang, merenung, menebak, di rumah mana kira-kira Karina terlelap.
Di mana pasar—dan kenapa itu tidak buka sampai malam? Di sebelah mana pula tempat kerja Karina? Lalu seperti apa rasanya berada di sebuah tempat bernama "restoran" bersama banyak orang dan mengobrolkan berbagai topik? Manusia memiliki banyak hal yang tidak dimiliki bangsanya. Kehidupan sosial adalah salah satunya. Di tempat asal Jeno, mereka lebih .... Individualis. Terbukti dari hubungannya dengan kakaknya yang terkadang seperti keluarga atau dua orang yang tidak saling mengenal.
Berani taruhan, kakaknya yang sempurna itu tidak pernah menginjakkan kaki di sisi hutan yang ini. Lagipula untuk apa?
"Kau melangkah terlalu jauh, Jeno."
Sisi hutan yang ini tidak punya urusan dengan mereka. Jeno tidak butuh Aeri untuk mengingatkannya. Atau menghentikannya.
Aeri mendongak menatap selendang yang Jeno ikatkan di cabang yang sama tempat dia duduk. Warna birunya menonjol dalam gelapnya malam. Benda tua itu, sebiru langit atau melambangkan hati yang patah. "Gadis manusia itu mengacaukan pikiranmu."
Sebelum menanggapi, Jeno melompat tiga meter ke bawah dan mendarat dengan selamat di samping sahabatnya. "Tapi aku merasa lebih baik sejak mengenalnya."
"Tidak. Kau tidak. Kau terus-menerus melanggar peraturan. Kau terlalu memercayainya. Kau seperti orang yang akan gila saat dia berhenti datang. Bagaimana itu bisa lebih baik?"
"Aeri." Jeno menengok ke objek yang sama, tetapi ketika di wajah Aeri terukir rasa frustrasi, yang ada pada Jeno hanya seulas senyuman. Selendang itu melambai. Indah sekali. "Kau tidak akan mengerti." Kemudian dia berbalik. Tugasnya selesai. Jeno kemari karena ingin menyampaikan pesan.
Bagi Aeri, rupanya percakapan mereka baru di mulai. Aeri bergerak mendahului Jeno dan muncul di depannya, meninju bahu Jeno—keras—hingga Jeno mundur beberapa langkah. "Kalau begitu jelaskan padaku. Karena ya, Jeno, aku tidak mengerti! Sebagai contoh, aku tidak mengerti apa yang salah denganmu. Mengapa gadis itu sangat memengaruhimu padahal yang kalian lakukan tak lebih dari mengoceh berdua sambil menyaksikan matahari terbenam? Dan kenapa kau tidak pernah memikirkan konsekuensi dari rahasiamu ini? Semua itu—aku sungguh tidak mengerti!"
Jeno tidak melawan. Dia berdiri saja dan mendengarkan. Pukulan Aeri, kemarahannya—Jeno cukup tahu diri dia pantas mendapatkannya. "Memang aneh kan? Tak ada penjelasan, Aeri. Mungkin sejak dulu aku selalu sebodoh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
FanfictionPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...